Page 89 - Relasi Kuasa: Dalam Strategi Pertanahan di Desa Prigelan
P. 89
80 Aristiono Nugroho, Suharno, dan Tullus Subroto
budaya para pemilik tanah sawah, agar lebih responsif terhadap
lingkungan sosialnya. Pemerintah Desa Prigelan berkepentingan
membangun harmoni antar elemen desa, terutama antara para
pemilik tanah sawah, dengan para petani yang tidak memiliki
tanah sawah. Oleh karena para pemilik tanah sawah tidak dapat
melepaskan diri dari interaksi sosial dengan para petani yang tidak
memiliki tanah sawah, maka kondisi ini “memaksa” keduanya untuk
saling memahami. Saat itulah dibutuhkan peran Pemerintah Desa
Prigelan sebagai “juru damai”, melalui penerapan strategi pengusaan
tanah.
Sesungguhnya sejak zaman Jepang (tahun 1942) sudah ada
norma yang berlaku di Desa Prigelan, bahwa pemilik tanah sawah
harus memberi upah kepada orang-orang yang membantu panennya
sebesar 1/6 bagian dari hasil panen. Tetapi pada waktu itu masih ada
sebagian (meskipun sedikit) yang memberi upah 1/8 bagian dari
hasil panen. Lama kelamaan tidak ada lagi yang memberi upah 1/8
bagian dari hasil panen, atau seluruh pemilik tanah sawah di Desa
Prigelan telah memberi upah 1/6 bagian dari hasil panen. Norma ini
(memberi upah 1/6 bagian dari hasil panen) terus dipertahankan
oleh masyarakat Desa Prigelan, dan merupakan adat atau tradisi
yang mengakar di masyarakat.
Berbekal semangat memberi upah 1/6 bagian dari hasil panen,
maka Pemerintah Desa Prigelan membakukannya dalam bentuk
strategi penguasaan tanah, yaitu kewajiban para pemilik tanah sawah
untuk menyerahkan hak garap atas tanah sawah seluas 1/6 (satu per
enam) bagian tanah sawah yang dimilikinya kepada Pemerintah
Desa Prigelan. Hak garap ini selanjutnya didistribusikan kepada
petani yang tidak memiliki tanah sawah.
Perubahan perilaku para pemilik tanah sawah ini sesuai dengan
nilai-nilai sosial yang dianut oleh masyarakat Desa Prigelan, yang