Page 90 - Relasi Kuasa: Dalam Strategi Pertanahan di Desa Prigelan
P. 90
Relasi Kuasa dalam Strategi Pertanahan di Desa Prigelan 81
sekaligus merupakan respon atas tuntutan lingkungan sosialnya.
Dengan kata lain, para pemilik tanah sawah melakukan adaptasi
sebagai “jawaban” atas kebutuhan para petani yang tidak memiliki
tanah sawah, untuk membangun harmoni dengan lingkungannya.
Substansi inilah yang selalu melatar-belakangi sikap para Kepala
Desa Prigelan sejak tahun 1946 hingga saat ini, dalam membangun
harmoni di desanya.
Sebagai contoh, ketika Suparmin menjadi Kepala Desa Prigelan
(1946 – 1986) menggantikan Wongsodihardjo (Kepala Desa Prigelan
sebelum tahun 1946), ia mempelajari secara seksama norma yang
berlaku di Desa Prigelan, yang mewajibkan pemilik tanah sawah
memberi 1/6 bagian dari hasil panen kepada mereka yang membantu
panennya. Dengan demikian Suparmin telah siap merespon
dinamika penguasaan tanah di Kecamatan Pituruh, Kabupaten
Purworejo yang saat itu “kekiri-kirian”.
Suparmin faham, bahwa pemilik tanah sawah di Desa
Ngandagan (Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo) diwajibkan
menyerahkan hak garap seluas 90 ubin bagi setiap 300 ubin tanah
sawah yang dimilikinya pada tahun 1947 oleh pemerintah desanya
(lihat Nugroho, 2011). Selain itu, Suparmin juga mengerti, bahwa
pemilik tanah sawah di Desa Karanganyar diwajibkan menyerahkan
hak garap seluas 90 ubin bagi setiap 250 ubin tanah sawah yang
dimilikinya pada tahun 1947 oleh pemerintah desanya (lihat
Nugroho, 2013). Oleh karena itu, Suparmin merespon dinamika
penguasaan tanah ini dengan menetapkan kewajiban pemilik tanah
sawah untuk menyerahkan hak garap atas 1/6 bagian dari tanah
sawah yang dimilikinya pada tahun 1947.
Pada konteks ini ada beberapa tahapan internal pada diri
Suparmin, yang berproses untuk menghasilkan keputusan.
Tahapan tersebut, meliputi: Pertama, tahap deteksi, yaitu ketika