Page 91 - Relasi Kuasa: Dalam Strategi Pertanahan di Desa Prigelan
P. 91
82 Aristiono Nugroho, Suharno, dan Tullus Subroto
Suparmin menentukan hal-hal yang harus ditanggapi dan yang
harus diabaikan. Kedua, tahap analisis, yaitu ketika Suparmin
menafsirkan hasil deteksinya, kemudian menganalisis konsekuensi
yang berpeluang muncul di masa mendatang. Ketiga, tahap respon,
yaitu ketika Suparmin menetapkan kewajiban pemilik tanah sawah
untuk menyerahkan hak garap atas 1/6 bagian dari tanah sawah
yang dimilikinya. Keempat, tahap evaluasi, yaitu ketika Suparmin
mengamati dan memperhatikan pelaksanaan kewajiban para
pemilik tanah sawah, dan penyerahan hak garap kepada para petani
yang tidak memiliki tanah sawah.
Keputusan Suparmin yang dalam konteks kekinian disebut
“strategi penguasaan tanah” turut meramaikan fenomena
penguasaan tanah di Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo.
Sebagaimana diketahui pada tahun 1947 di kecamatan ini muncul
fenomena penguasaan tanah sebagai berikut: Pertama, fenomena di
Desa Prigelan, ketika 120 kepala keluarga petani di desa ini yang tidak
memiliki tanah sawah, akhirnya dapat memperoleh hak garap atas
tanah sawah yang luasnya masing-masing 60 ubin. Kedua, fenomena
di Desa Ngandagan, ketika 128 kepala keluarga petani di desa ini
yang tidak memiliki tanah sawah, akhirnya dapat memperoleh hak
garap atas tanah sawah yang luasnya masing-masing 45 ubin (lihat
Nugroho, 2011). Ketiga, fenomena di Desa Karanganyar, ketika 76
kepala keluarga petani di desa ini yang tidak memiliki tanah sawah,
akhirnya dapat memperoleh hak garap atas tanah sawah yang luasnya
masing-masing 90 ubin (lihat Nugroho, 2013).
Ketika fenomena di Desa Prigelan muncul, untuk meramaikan
fenomena penguasaan tanah di Kecamatan Pituruh, maka hal ini
memperlihatkan adaptasi Pemerintah Desa Prigelan dan para petani
di desa ini terhadap kondisi internal dan eksternal desa. Adaptasi
ini dilatar-belakangi oleh pengalaman Pemerintah Desa Prigelan