Page 9 - Masalah Pertanahan di Indonesia
P. 9
Bagian kedua berisi laporan lengkap hasil penelitian mengenai eksistensi
perundang-undangan pertanahan tentang persoalan penguasaan dan
pemilikan; masalah penggarapan tanah rakyat untuk tanaman tebu; budidaya
tambak di Indonesia; masalah pemilikan, penguasaan dan penggarapan tanah
dalam hubungannya dengan pembangunan pengairan; masalah pertanahan
di Daerah Istimewa Aceh dan di Sumatera Barat. Kondisi pertanahan antara
di Jawa dengan di Luar Jawa berbeda sehingga Tim perlu mengkaji persoalan
pertanahan di kedua daerah tersebut. Berbeda dengan di Jawa yang dinilai
memiliki tingkat kesuburan tinggi dan jumlah penduduk yang padat, di kedua
wilayah tersebut dianggap tidak cukup subur dan padat populasi sehingga
diperlukan kebijakan ekstensifikasi.
Konteks
Penelitian masalah pertanahan dilatar-belakangi oleh kondisi politik beberapa
tahun sebelumnya yang sempat memanas. Pada tahun 1977, pemerintah
Orde Baru mulai resah setelah mendapat banyak kritik dan demonstrasi besar-
besaran. Pemerintahan Presiden Soeharto saat itu merasa perlu menengok
kembali isu pertanahan setelah didera berbagai protes dalam peristiwa Malari
(1974). Dalam sidang Dewan Stabilisasi Ekonomi tanggal 8 November 1977,
Presiden Soeharto memerintahkan perlunya segera menentukan langkah-
langkah pengaturan mengenai pemilikan, penguasaan dan penggarapan tanah
secara nasional. Oleh sebab itu perlu dibentuk tim penelitian yang bertugas
menyelidiki permasalahan tersebut. Secara khusus pada tahun tersebut
bersamaan pula dengan banyaknya kelaparan di daerah akibat gagal panen,
seperti di Karawang Jawa Barat (Antara, 01-10-1977).
Transisi tahun 1977-1978 sebetulnya adalah periode mulai terbukanya
publik membicarakan landreform, suatu isu yang saat itu diasosiasikan dengan
komunisme. Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) bekerjasama
dengan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YKTI) tanggal 23-27 Januari
1978 mengadakan “Seminar Hukum Pertanahan” yang dihadiri kalangan
pemerintah, akademisi, dan organisasi profesi. Seminar menyimpulkan
bahwa landreform perlu dilanjutkan dan harus diintegrasikan dengan
pengembangan transmigrasi, pertanian, koperasi dan pembangunan pedesaan,
viii