Page 14 - Masalah Pertanahan di Indonesia
P. 14
Agraria tak kunjung dilaksanakan di Indonesia. Bahkan pemerintah
Orde Baru sebenarnya tidak ada niat untuk memberi landasan kuat
bagi pembangunan nasional menuju kearah industrialisasi dengan
membenahi struktur agraria terlebih dahulu yang timpang sejak jaman
penjajahan Belanda.”
Kemasygulan Prof. Tjondronegoro tersebut beralasan. Menengok
kembali kebijakan pembangunan pemerintah Orde Baru saat itu, strategi
pembangunan pedesaan dilakukan melalui program modernisasi pertanian
yang sarat insentif dan modal asing. Terdapat inpres pada pertengahan 1970-an
yang berorientasi pada pengembangan masyarakat di desa dan di kabupaten,
penghijauan tanah, masyarakat organisasi produsen, prasarana pendidikan
dan kesehatan (Kompas, 03-09-1976). Revolusi Hijau yang turut menjadikan
Indonesia berswasembada beras menjadi garis pembangunan pertanian saat
itu. Pembiayaannya diperoleh dari hutang luar negeri.
Media memberitakan bahwa pada era tersebut perekonomian Indonesia
relatif cepat pulih, dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 7,6 persen,
lebih tinggi dari Philippina, Malaysia, Mexico dan Venezuela, setelah lebih
satu dekade sebelumnya perekonomian Indonesia mengalami inflasi tajam.
Salah satu yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mendatangkan
sumberdaya modal dari luar negeri yang umumnya dari negara-negara industri
maju. Wujudnya berupa penanaman modal asing (direct investment), investasi
portofolio (portfolio investment) dan pinjaman luar negeri. Permasalahan
penciptaan lapangan kerja produktif serta pertumbuhan penduduk menjadi
perhatian sejak saat itu.
Strategi pembangunan nasional bertumpu pada utang luar negeri sebagai
sumber pembiayaan pembangunan nasional (kisaran 28-30% dari pendapatan
nasional). Pembangunan pertanian tidak terlepas dari kepentingan global
saat itu. Forum dan negara-negara donor dikoordinasi oleh IGGI, Inter-
Governmental Group on Indonesia, sebuah konsorsium penyedia dana
pinjaman multilateral. Dana yang digelontorkan oleh IGGI saat itu adalah
$ 2,3 milyar, angka yang fantastis saat itu. Hutang dari IGGI ini naik secara
berangsur mulai dari $ 200 juta (1967/1968), $ 500 juta (1970/1971), $
950 juta (1975/1976) hingga $ 2,3 milyar (1980/1981). Hutang tersebut
xiii