Page 16 - Masalah Pertanahan di Indonesia
P. 16

tanah sempit 0,6 ha semakin meningkat, dari semula 7,95 juta orang (1963)
            menjadi 8,27 (1973) (hlm.  9). Pada  masa  sekarang,  kondisi itu  semakin
            mengkhawatirkan. Terjadi penurunan Rumah Tangga Pertanian (RTP) dari
            31,170 juta (2003) menjadi 26,126 juta (2013). Sekitar 5 juta RTP hilang
            (Sensus Pertanian, BPS 2013).  Tenaga muda yang bekerja di pertanian
            tersisa 6,9 juta (11 %) dari total 62,92 jiwa generasi muda (BPS 2020). Ini
            menjadi tantangan besar mengingat Indonesia menghadapi bonus demografi
            dalam rentang waktu 2020-2030. Bonus demografi dapat menjadi bencana
            demografi jika landasan dan strategi pembangunan tidak tepat. Kebijakan
            penciptaan lahan pertanian yang berskala luas dan dikelola secara korporasi
            (corporate farming) akan kontra-produktif pada perimbangan man-land ratio
            dan menjawab permasalahan penguasaan tanah pertanian keluarga serta
            serapan tenaga kerja pertanian tersebut. Produktifitas corporate farming juga
            dinilai kurang jika dibanding small holder farm, sebagaimana dalam kajian
            klasik ekonom Amartya Sen sebagaimana disebut di muka. Gejala global
            “repeasantitation” saat ini juga menarik dan mendapat perhatian para ahli
            (Van der Ploeg 2019).

                Kedua, pemilikan tanah secara absentee (guntai) semakin marak pada
            periode itu (hlm. 13) namun tidak menjadi perhatian hingga sekarang.
            Pengurusan peralihan hak atas tanah di kantor hanya dilihat kelengkapan
            syarat administratif untuk sampai terbit sertipikat hak milik atas tanah tanpa
            mempertimbangkan lagi kepemilikan tanah yang bersifat guntai ataupun lebih
            dari batas maksimum. Akibatnya terjadi spekulasi dan akumulasi tanah pada
            pihak-pihak tertentu. Percaloan dan spekulasi tanah dengan demikian bukan
            semata-mata motif individual, sesuatu yang menjadi perhatian pemerintah
            untuk diberantas, namun ada persoalan kelembagaan dan problem sistemik
            tatkala pemerintah tidak lagi memedulikan kebijakan landreform berupa
            pengendalian pemilikan tanah. Kultur demikian ini berlangsung di tingkat
            kelembagaan di dalam administrasi pertanahan.
                Sayangnya, kebijakan landreform memang tidak lagi menjadi perhatian
            pemerintah. Anggaran pelaksanaan landreform sejak 1971 tidak lagi tercantum
            lagi dalam APBN rutin maupun pembangunan, sehingga kegiatan tersebut
            akhirnya murni dibiayai dari Yayasan Dana Landreform. Para penerima tanah



                                            xv
   11   12   13   14   15   16   17   18   19   20   21