Page 17 - Masalah Pertanahan di Indonesia
P. 17
hasil kebijakan resmi landreform era 1961-1965 juga mengalami stigmatisasi
(hlm 18), sehingga keberadaan mereka sekaligus tanahnya tidak jelas dan
menghasilkan permasalahan sampai dengan sekarang di berbagai daerah
(Mahardhika 2017; Luthfi 2018b; Safitri 2018). Perlu ada pemulihan pada
posisi petani penerima tersebut sekaligus memikirkan proses depopulasi yang
menyertainya (Luthfi 2018b). Singkatnya, terdapat problem law enforcement,
institusional dan politik dalam hal ini. Pertanahan menjadi dampak (obyek)
dari persoalan-persoalan tersebut namun sekaligus dapat menjadi perspektif
(subyek) di dalam menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut.
Problem semacam itu telah menjadi perhatian Tim sehingga
direkomendasikan agar perlu ditegaskan eksistensi struktur landreform,
peradilan landreform dan anggaran pembiayaannya (hlm. 41). Kebijakan
Reforma Agraria yang ada saat ini dalam perkembangannya dinilai kurang
kuat tatkala keberadaan pemerintah sebagai pelaksana mengalami sektoralisasi
antar-kementerian; disertai dukungan politik, infrastruktur regulasi dan
pembiayaannya yang dirasa kurang memadai di dalam mengelola skala konflik
dan ketimpangan penguasaan tanah yang telah demikian akut. Oleh sebab itu
mengemuka dukungan agar kebijakan reforma agraria dipimpin oleh badan
otorita yang bertanggung-jawab langsung pada presiden (Wiradi 2009) atau
bahkan dipimpin langsung oleh presiden sebagaimana era 1960-an (Luthfi
2018a; Salim dan Utami 2019).
Ketiga, permasalahan ketentuan batas minimum tanah pertanian dan
bagi hasil pertanian. Laporan itu telah mengkalkulasi bahwa angka 2 ha batas
minimum pemilikan tanah itu tidak mungkin bisa dicapai (hlm. 17). Hal
ini tidak semata-mata sebab pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang
dengan tanah yang tersedia namun karena peralihan alokasi atau terkait
dengan tata guna tanah yang tidak berpihak pada perlindungan lahan pangan
bahkan semakin menggerus tanah-tanah pertanian yang subur (hlm. 21). Di
sisi lain penguasaan tanah pertanian yang sempit tersebut menanggung beban
dengan adanya relasi ketenagakerjaan yang timpang. Porsi bagi hasil petani
penggarap menjadi semakin kecil, misalnya dari sistem maro (setengah yang
diterima penggarap) menjadi mertelu (sepertiga) dan merapat (seperempat).
Bahkan petani penggarap disertai beban menanggung biaya produksi (hlm.
xvi