Page 239 - Mozaik Rupa Agraria
P. 239
ke luar desa. Desa-desa di Kapuas terpisah satu sama lain oleh
sungai-sungai. Karena sekolah yang ada di desa hanya sampai
tingkat SMP, bagi yang melanjutkan SMA, mereka harus tinggal
di kecamatan Jongkong untuk menghemat biaya, menyewa kamar
atau menumpang di rumah sanak kerabat dan pulang saat akhir
pekan. Sebagian lagi memilih untuk tidak melanjutkan sekolah.
Jongkong, sebagai kota kecamatan yang paling dekat dengan
Empangau harus ditempuh dengan perahu bermesin tempel,
perahu tambang, atau speed boat. Ongkos naik moda transportasi
air cukup mahal karena harga bahan bakar di sana juga tinggi. Sekali
jalan, mereka harus mengeluarkan sekitar 50.000-80.000 rupiah,
tergantung pasang surutnya air sungai. Saat air pasang, perjalanan
menjadi murah karena jarak tempuh lebih dekat sehingga bahan
bakar perahu bisa dihemat. Perahu dan speed boat dapat melewati
sungai-sungai pasang surut di hutan dan memotong jarak dari pada
harus mengelilingi meander Kapuas. Sebaliknya, sungai-sungai di
dalam hutan mengering, perahu harus memutar, menambah jarak
tempuh, menghabiskan lebih banyak bahan bakar.
Ketika SMA di Empangau didirikan, mereka yang telah
lulus SMP Empangau tidak perlu bersusah payah lagi. Lengkap
sudah sarana pendidikan dasar yang dibutuhkan, dari Taman
Kanak-kanak (TK) hingga tingkat SMA. Awalnya, SMA itu masih
menumpang di gedung Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang
ada di bagian hilir kampung. Kini, bangunan SMA telah berdiri di
dekat SD di sebelah hulu kampung. Saat ini, SMA PDL tidak hanya
untuk anak-anak Empangau. Sekolah ini juga menjadi pilihan
alternatif bagi warga kampung lain, seperti Ujung Said, Teluk
Aur, dan Pengelang. Kecuali Ujung Said yang sudah terhubung
dengan jalan darat, perhubungan Empangau dengan kampung-
kampung lain masih terbatas melalui sungai sehingga anak-anak
yang bersekolah di SMA PDL memilih menetap di rumah saudara
226 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang