Page 371 - Mozaik Rupa Agraria
P. 371
jalan raya, bandara internasional, pelabuhan, pabrik semen, dan
tambang gamping para pengusaha. Kaum miskin adalah pemodal
sesungguhnya dari “industri infrastruktur” (istilah ini dari Mas
Kevin), berarti mereka adalah kaum kapitalis, tapi kok miskin?
Kalau mereka membelanjakan uangnya untuk barang-barang
bikinan sesama warga miskin (bukan barang pabrikan) dan
menyimpan uang tidak di bank mungkin malah bisa jadi kaya.
Tapi, mereka tidak mentereng karena tidak jadi kaum kapitalis.
Akhir-akhir ini saya agak berselisih dengan Kang Saimin dan
Kang Gunaryo, gara-garanya saya membubarkan cara dagang
angkringan saya. Saya bukan lagi pemilik tunggal angkringan ini,
saya hanya menjual nasi kucing. Sedangkan berbagai gorengan
adalah dagangannya Paimin; cemilan dagangannya Paidi; semua
jenis minuman dagangannya Watini, Wagimin, dan Wanisah; lauk
telur dan daging ayam dagangannya Warsito dan Warsini, kalau
ada yang mau menikmati kerlip lampu-lampu pabrik semen di
kejauhan dari atas bukit kecil belakang angkringan ini maka sewa
tikarnya pada Kang Piyoto dan Yu Rugiyati. Mereka warga asli
kampung ini yang pakaiannya sudah tidak serba hitam. Sepuluh
persen dari pendapatan bersama usaha ini untuk membiayai
perjuangan warga menolak tambang dan pabrik semen. Kang
Gunaryo dan Kang Saimin menuduh saya mengajari berdagang,
saya dianggap sedang merusak tradisi kampung ini yang sudah
turun-temurun bertahan. Kang Gunaryo bertanya pada saya,
kalau generasi muda sudah meninggalkan cara hidup orang
asli, lalu siapa yang akan menjaga tradisi agar tidak punah? Kata
Kang Saimin, uang bisa mengubah watak orang. Mungkin Kang
Gunaryo dan Kang Saimin benar, mungkin karena saya bukan
orang asli maka saya tidak merasa keberatan dengan perubahan.
Dalam upaya mempertahankan kehidupan bersama, para
mahasiswa, Kang Gunarto, Kang Gunaryo, Kang Saimin, dan saya
358 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang