Page 366 - Mozaik Rupa Agraria
P. 366
dari keturunan sesepuh (tetua, leluhur) kampung ini. Apakah
menantu kelas menengah termasuk kelas menengah meskipun
hidupnya susah?
Mas Fatah tinggal untuk bertani dengan para penduduk.
Kabarnya dia juga seorang mahasiswa jurusan seni rupa, tetapi
anehnya dia tidak punya ciri-ciri mahasiswa yang saya kenal. Mas
Fatah berambut gondrong, beberapa bagian gimbal, tubuhnya
penuh tato, bertindik, suka pakai baju dan celana warna hitam atau
merah, dan doyan minum arak bikinan sendiri. Suatu ketika saya
pernah iseng bertanya mengapa Mas Fatah datang ke kampung
ini untuk bertani. Katanya ia ingin membantu perjuangan warga
dengan cara menjadikan nasib warga kampung ini jadi nasibnya,
sehingga mau tak mau dia harus membela nasibnya sendiri.
Semboyan Mas Fatah bagus sekali: Seni menentang tirani!
Di antara para mahasiswa itu, Mas Fatahlah yang hasratnya
paling mulia, tapi juga yang paling aneh. Coba dipikir lagi. Mas
Fatah menjadikan nasib kami sebagai nasibnya. Sakit kami
menjadi sakitnya. Siapa yang mengganggu hidup kami sama saja
mengganggu hidupnya. Maka, ia mau tak mau membela dirinya,
di saat yang sama ia juga membela kami. Tetapi Mas Fatah lupa,
kepeduliannya berasal dari imajinasi (istilah ini dari Mas Dendi),
dari membayangkan, dari angan-angan. Kepeduliannya bukan
didasari oleh kenyataan yang ia alami dan rasakan, tetapi dari
fantasi (istilah ini dari Mas Phitut). Mas Fatah tidak benar-benar
menjadi kami. Ia tak memilih menjadi warga kampung ini. Tidak
menikah dengan warga kampung ini. Tidak beralih pekerjaan
menjadi petani. Jadi, Mas Fatah membela imajinasinya, membela
angan-angannya sendiri. Bagaimana bila pada akhirnya kenyataan
tak seperti angan-angannya? Apakah Mas Fatah akan lari dari
kenyataan? Saya tidak mengenyam Kenyataan dalam Dunia
Gerakan dan Perjuangan Agraria 353