Page 369 - Mozaik Rupa Agraria
P. 369
Pertemuan itu untuk membangun jati diri dan posisi terhadap
pemerintah, pernyataannya terkenal di mana-mana: “Kalau
negara tidak mengakui kami, maka kami tidak mengakui negara!”
Jadi, mereka butuh pengakuan pihak lain sebagai bukti mereka
ada, ketimbang bilang: “Kami berbeda maka kami ada!”
Lain lagi Kang Saimin. Dalam kehidupan sehari-hari, Kang
Saimin sama seperti Kang Gunaryo, tetap nandur dan ngopeni,
tidak menggunakan teknologi, bedanya Kang Saimin tetap
menolak tambang dan pabrik semen seperti Kang Gunarto. Kang
Saimin tidak mendekat pada para mahasiswa, juga tidak didekati
karena Kang Saimin bukan tokoh yang berpengaruh, dia malah
dekat ke saya yang bukan siapa-siapa. Hubungan saya dengan
Kang Saimin itu lama-lama memengaruhi cara saya berpikir dan
berperilaku. Saya lama-lama seperti Kang Saimin, mereka bilang
saya nyaimin. Tetapi tidak seluruh pikiran dan perilaku saya
menjadi pikiran dan perilaku Kang Saimin, masih ada sisa-sisa
orang sekolahan dalam diri saya. Buktinya saya tetap berdagang,
punya telepon, dan naik motor ke mana-mana (televisi sudah saya
jual untuk modal).
Saya jadi bingung dengan keadaan ini. Sebenarnya, apa ya
untungnya bangga dengan jati diri sebagai orang asli atau bukan
asli? Apa orang asli selalu lebih baik daripada bukan orang asli,
dan sebaliknya? Apakah ajaran tradisional selalu luhur dan ajaran
luhur selalu yang tradisional? Apakah ajaran luhur selalu melekat
dalam perilaku penganutnya? Apakah ajaran yang luhur itu
sanggup menangkal keburukan yang datang dari luar? Apakah
ajaran yang luhur itu mustahil dimanfaatkan jadi alat untuk
serakah? Yang jelas perbedaan jati diri di kampung ini sudah
membuat kami bertengkar satu sama lain, setidaknya saling
curiga, padahal nasib kami sudah bagaikan telur di ujung duri
gara-gara rencana tambang dan pabrik semen itu.
356 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang