Page 368 - Mozaik Rupa Agraria
P. 368
dekati. Di kampung ini saja setidaknya ada lima kelompok warga
yang tidak saling cocok karena mengikuti guru mereka masing-
masing, para mahasiswa itu. Kang Gunarto jadi panutan warga
karena dinilai bisa ngemong, bisa menyeimbangkan tarik ulur
kemauan banyak pihak. Dia juga dekat dengan semua kelompok,
makanya Kang Gunarto itu jadi rebutan. Barangsiapa bisa
memengaruhi Kang Gunarto maka ia bisa memengaruhi seluruh
warga.
Lain Kang Gunarto lain lagi Kang Gunaryo. Kang Gunaryo
susah ikut mahasiswa, dia sudah ikut Mbah Suro sesepuh yang
salin sandhangan di Sawahlunto. Kang Gunaryo dan Kang Gunarto
selalu berselisih paham tentang siapa orang asli dan bagaimana
seharusnya menjadi orang asli kampung ini. Kang Gunarto
memang keturunan Mbah Suro, tetapi sudah menikmati televisi,
naik kendaraan bermotor, dan menggunakan telepon. Artinya
dia menggunakan uang dalam hidupnya. Kang Gunarto dinilai
oleh Kang Gunaryo telah menyimpang dari ajaran asli kampung
ini, karena menganggap pemerintah dan pengusaha bukanlah
saudara melainkan lawan. Kang Gunaryo tidak punya televisi,
tidak menggunakan telepon, dan ke mana-mana jalan kaki. Kang
Gunaryo suka memakai kaos bergambar Mbah Suro. Dia bangga
sekali menjadi keturunannya dan meneruskan ajarannya. Konon,
menurut Kang Gunaryo, Mbah Suro mengajarkan welas asih
(belas kasih) sesama manusia, siapapun dia. Makanya bagi Kang
Gunaryo, kehadiran para mahasiswa, pemerintah, dan pengusaha
tambang dan semen itu tidak terlalu jadi masalah karena yang
penting ia menjalankan ajaran welas asih serta tetap nandur dan
ngopeni. Ketika pemerintah membuatkan patung Mbah Suro di
dekat balai desa dan memberi bantuan ternak sapi, Kang Gunaryo
sangat senang. Kang Gunaryo juga punya banyak pengikut,
terutama generasi tua. Tahun 1999 lalu Kang Gunaryo diundang
dalam pertemuan masyarakat adat nusantara di luar Jawa.
Gerakan dan Perjuangan Agraria 355