Page 373 - Mozaik Rupa Agraria
P. 373
Mas Dendi dan Mbak Dinda sudah memenangkan festival film
dokumenter di Jakarta, sebentar lagi terbang ke Perancis. Mas
Phitut sudah jadi idola kaum muda, bikin Jama’ah Pojokiyah yang
beranggotakan anak-anak muda yang suka nongkrong di pojok
ruang maya buat menggosipkan situasi apa saja dan menuliskan
gerundelan mereka sebagai guyonan segar yang tampak pintar,
bahkan kumpulan gerundelan jama’ahnya sudah diterbitkan jadi
buku yang laris manis. Mas Dahlan juga tidak mau kalah, dia
sekarang mendapat beasiswa dari pabrik mobil Amerika untuk
sekolah sarjana tingkat tiga di Belanda. Mas Kevin sudah jadi
pengacara di kantor milik legenda pengacara di Jakarta. Lalu, Mas
Fatah sekarang sudah jadi staf ahli anggota dewan kebudayaan
nasional karena karya-karyanya dinilai mampu membangkitkan
kembali aliran seni rupa yang hampir mati. Saya yang tidak
dekat dengan mereka saja sudah merasa kehilangan teman,
apalagi Kang Gunarto. Sekali bakul angkringan ya tetap bakul
angkringan. Bedanya, kalau saya jadi Kang Gunarto, saya akan jadi
doyan cerita ke siapa saja, kalau saya pernah begini dan pernah
begitu. Untungnya saya tidak sempat terkenal. Menjadi terkenal
itu sepertinya kok menyakitkan.
Saya punya harapan yang sama dengan Kang Saimin, yang
dibutuhkan warga kampung ini adalah semacam penerjemahan
hasil-hasil pemikiran kaum sekolahan itu dalam bahasa dan
pengertian yang sederhana agar warga bisa bergerak dengan
usahanya sendiri. Tapi, apa kaum sekolahan itu mau ikut
menanggung segala akibat yang ditanggung warga karena
mempertahankan ruang hidupnya, atau mereka maunya tetap
duduk manis jauh di sana, di tempat yang nyaman dan aman?
Zaman kekacauan telah melahirkan banyak pahlawan, tetapi
siapa yang mau merawat kewarasan? Di zaman kegelapan, banyak
yang mendadak jadi nabi ad hoc (istilah ini dari Mas Dahlan), nabi
360 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang