Page 377 - Mozaik Rupa Agraria
P. 377
“Dulu waktu sebelum ada PLTU mah gampang nyari udang
tuh. Ini yang lebih parah mah jaringnya rusak, kalau jaringnya
rusak dan hilang, itu kan tidak melaut. Harus bikin lagi, setelah
jadi, rusak lagi. Ini limbah yang dibuang ke laut juga dulunya kan
tanah, sekarang sudah mengeras jadi karang, jadi batu, itu kan
masalah.” 3
Rata-rata nelayan yang ada di sana adalah nelayan tradisional
dan yang memiliki kapal sekitar 130 orang dengan anak buah kapal
(ABK) yang masing-masing membawahi tiga sampai empat orang.
Penghasilan yang awalnya sehari bisa mencapai Rp. 1.000.000 -
Rp. 1.500.000/kapal, bisa terancam karena tidak bisa lagi melaut
lantaran jaringnya rusak atau hilang terangkut kapal tongkang.
Sehingga bagi nelayan yang hendak melaut pun harus merogoh
biaya lebih untuk membetulkan jaringnya yang rusak atau hilang.
Kejadian ini kerap terjadi sehingga ada rasa trauma bagi
nelayan tradisional yang sehari-harinya menangkap udang dan
rajungan. Lokasi tangkap nelayan tradisional yang mengandalkan
area permukaan bibir pantai juga akan tersisih dengan adanya
kapal tongkang pengangkut batubara. Para nelayan sering kali
protes atas kerusakan alat tangkapnya pada pihak PLTU. Wilayah
perairan yang dulunya menjadi aktivitas nelayan mencari udang
dan ikan, seakan sudah dikuasai PLTU seutuhnya.
“PLN milik negara, PLTU milik negara, masyarakat juga
milik negara kata saya. Tapi negara tidak punya uang kalau
masyarakatnya tidak bayar pajak, uang dari mana?, tambahnya.” 4
Selain berdampak pada lingkungan dan nelayan, dampak
lainnya pun dirasakan oleh anak-anak di bawah umur yang
terkena gangguan pernapasan atau ISPA. Desa Tegal Taman,
Sukra, merupakan wilayah ring satu yang cukup parah terpapar
3 Wawancara Ajid, ketua kelompok nelayan Desa Ujung Gebang, Sukra, Indramayu (2018).
4 Wawancara Ajid, ketua kelompok nelayan Desa Ujung Gebang, Sukra, Indramayu (2018).
364 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang