Page 363 - Mozaik Rupa Agraria
P. 363
Kata Mas Kevin, departemen kehutanan itu negara di dalam
negara. Dia bisa menentukan 70 % wilayah NKRI adalah hutan,
dan hutan adalah wilayah kekuasaannya. Hukum pertanahan
tidak bisa menyentuh kawasan hutan meskipun hutan berada di
atas tanah. Apabila suatu kawasan hutan hendak diubah fungsinya
menjadi selain hutan, maka kawasan itu harus diubah judulnya,
diganti statusnya, istilahnya: dikeluarkan dulu dari kawasan hutan.
Di dalam hutan tidak boleh ada manusia kecuali para rimbawan,
orang-orang (h)utan. Kang Saimin itu bukan orang (h)utan, maka
dia dilarang masuk hutan buat memungut hasil hutan. Anehnya,
tambang di dalam hutan lindung diperbolehkan (tapak pabrik
semen itu semula wilayahnya Perhutani, entah Perhutani dapat
berapa bagian kok mau melepaskan wilayahnya). Rupanya fungsi
kawasan ditentukan oleh statusnya, dan status itu gampang sekali
diubah sesuai selera penguasa.
Penyuluhan hukum yang diadakan Mas Kevin semakin ramai
dihadiri warga. Mereka jadi makin tahu bahwa banyak hal yang
telah mereka langgar, umpamanya tidak membayar pajak; tidak
membuat KTP; menikah tidak di KUA; memungut hasil hutan;
termasuk menentang tambang gamping dan pembangunan
pabrik semen karena sama saja menentang rencana tata ruang,
menentang kehendak pemerintah si pembuat hukum. Mereka
jadi tahu kalau mau menyampaikan sikap harus melalui tata cara
tertentu, misalnya melalui anggota partai politik di DPR; ikut
serta dalam AMDAL (agar bisa ditambang setelah memperoleh
ijin lingkungan); dan PTUN atas putusan kepala daerah yang
mengancam kehidupan mereka. Dulu sebelum warga tahu aturan
main, mereka bebas bergerak. Sekarang setelah tahu aturan
main malah membatasi diri, misalnya tidak memblokir jalan
atau tidak menggempur pabrik, mereka takut dicap bertindak
‘anarkis’ (istilah ini dari Mas Kevin, katanya ‘anarkis’ artinya
doyan kekerasan). Padahal yang paling ‘anarkis’ adalah preman
350 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang