Page 360 - Mozaik Rupa Agraria
P. 360
Kemudian saya berkenalan dengan Mas Dendi dan Mbak Dinda
yang akan membuat film dokumenter. Wah! Film dokumenter.
Semula saya mengira itu film yang akan dibintangi artis Jakarta
atau luar negeri, yang ceritanya juga tentang cinta, perkelahian,
perang-perangan, ternyata bukan. Apa menariknya kalau bintang
film itu Kang Saimin, Kang Gunarto, Yu Sanikem, Mbah Gunarti?
Apa menariknya kalau cerita film itu tentang kehidupan sehari-
hari warga kampung ini? Kalau Mbah Gunarti jadi dhanyang
atau ratu siluman terus Kang Gunarto jadi pahlawan yang
membasmi siluman dengan adu silat dan ajian-ajian hebat, saya
akan semangat nonton. Kalau yang dimaksud film dokumenter
itu nyoting (mengambil gambar) kegiatan sehari-hari maka setiap
hari saya nonton film tanpa harus repot-repot sotingan. Tapi Mas
Dendi dan Mbak Dinda punya alasan lain, katanya film itu penting
buat orang-orang di luar kampung ini, utamanya mereka yang
duduk di pemerintahan; guru dan mahasiswa; orang-orang el es
eng macam WALHI, LBH, dan JATAM; aktipis (warga luar biasa)
dan sipilis (warga biasa). Semakin banyak yang tahu kehidupan
warga kampung ini maka akan semakin banyak yang mendukung
warga kampung ini mewujudkan harapannya. Tapi harapan
kebanyakan warga kampung ini tidak menjadi bintang film, juga
tidak ingin terkenal, terutama mereka yang warga asli. Kalau saya
ingin bisa terkenal, harapannya ya dagangan angkringan saya jadi
lebih banyak laku.
Mas Dendi dan Mbak Dinda itu hebat, mereka bisa
mendatangkan artis sungguhan dari Jakarta. Cantik, wangi, dan
semok. Terus kalau bicara itu mesti pakai bahasa Indonesia, sama
seperti Mas Dendi dan Mbak Dinda. Saya ya tahu orang saya
pernah sekolah, makanya saya ditunjuk jadi penerjemah kalau
mereka menyoting Mbah Gunarti, Kang Gunarto, Kang Saimin, Yu
Sanikem dan yang lain-lainnya. Mereka yang disoting malah tidak
tahu kalau sedang jadi bintang film utama, mereka tahunya ikut
Gerakan dan Perjuangan Agraria 347