Page 355 - Mozaik Rupa Agraria
P. 355
dan yang perempuan; yang berjalan dengan yang pincang, yang
muda dengan yang tua, yang hidup di istana atau yang tinggal
di gubuk sederhana. Semua sama, semua satu, seperti tidak
ada bedanya air dalam cawan dengan segumpal awan. Mungkin
karena alasan di balik pakaian hitam itu, saya diterima walau pun
saya berbeda. Saya tetap merasa ada tanpa harus menjadi sama,
merasa tenteram tanpa harus menyeragam.
Mula-mula, saya tidak terbiasa mengatakan anak hasil
pernikahan kami, Gunawan, bukan anak saya, tepatnya ia adalah
anak isteri saya. Untuk saya, yang benar: Gunawan adalah
keturunan saya. Hingga hari ini, saya masih tidak terbiasa
menyebut isteri saya sebagai rukun, daripada isteri; simah dari
sisihaning manah, pasangan hati; atau garwa dari sigaraning
nyawa, belahan jiwa. Saya juga harus membiasakan diri menyebut
mati sebagai salin sandhangan, berganti pakaian, sebab tubuh
adalah pakaian dari ruh.
Sumpah mati saya bukan pujangga. Saya cuma memberanikan
diri menuliskan gerundelan-gerundelan di kedai angkringan saya.
Dongeng tentang mas-mas dan mbak-mbak pelanggan angkringan
saya dan warga yang mereka perbincangkan. Barangkali dongeng
ini akan bermanfaat buat orang-orang yang senasib dengan saya.
Saya tidak berharap cerita ini akan laku dijual, diperbincangkan
di sekolah-sekolah, atau dipuji para cendekia pada bidangnya.
Tulisan saya tidak ilmiah apalagi menarik dan indah, namanya
juga pemula, amatir, dan picisan. Saya menulis untuk berbagi
pengalaman, dari pengalaman itu siapa tahu ada gagasan yang
bisa dimatangkan dan dilakukan di kampung-kampung. Saya
bisa saja dianggap menggurui, biar saja, tidak apa-apa karena saya
percaya pada perbuatan daripada ucapan. Jadi, tulisan saya tidak
ada artinya kalau berakhir di rak-rak perpustakaan atau kolektor,
342 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang