Page 353 - Mozaik Rupa Agraria
P. 353
cara bicara; cara berpikir benar-benar berbeda dengan warga
biasa. Mereka tak hanya pintar bicara, tapi juga rajin menulis. Saya
kadang melihat mereka menggumam atau setengah melamun,
lalu sesaat setelah mata mereka berbinar mereka menulis entah
apa. Mereka menyebut banyak istilah dan nama tokoh setiap kali
mengobrol satu sama lain, di antara mereka. Istilah dan nama
yang sulit saya ucapkan. Mengucap saja sulit, apalagi mengerti.
Maklum, saya cuma tamat kelas tiga SD. Tapi, saya senang punya
pelanggan yang pintar-pintar, itu membuat saya jadi belajar
gratis. Saya suka ikut-ikutan rajin menyimak obrolan mereka,
mencatat istilah-istilah sulit yang saya dengar sebisa saya, dan
saya mulai berani menanyakan apa saja yang saya tidak tahu
pada mereka, termasuk tulisan, bunyi, dan arti istilah-istilah
yang mereka gunakan. Padahal, waktu sekolah dulu saya malu
dan takut bertanya. Bapak dan ibu guru saya suka marah kalau
teman sebangku saya bertanya, apalagi pertanyaannya aneh-
aneh, misalnya bagaimana burung bisa terbang? Apakah Nabi
Adam punya pusar? Mengapa Gunadarma disebut pembuat
Candi Borobudur bukannya para tukang batu? Siapa tukang
cukur Presiden Soeharto? Atau mengapa tidak ada ikan yang mati
tenggelam? Mungkin karena para mahasiswa itu membicarakan
nasib warga kampung ini, maka saya jadi ingin tahu bagaimana
nasib saya nanti. Saya senang para mahasiswa itu datang ke
kampung ini, mereka membuat angkringan saya tidak pernah
sepi. Dagangan saya laku dan saya jadi banyak tahu.
Saya bukan penduduk asli kampung ini, tapi isteri saya iya.
Sejak lima tahun lalu saya membuka angkringan ini. Saya tidak
terlatih bertani seperti keluarga besar mertua saya. Keterampilan
saya berdagang kecil-kecilan. Keluarga besar mertua saya petani
dan peternak, hasil bumi dan ternak mereka langsung ditukarkan
barang, tidak ada yang berdagang. Ada kepercayaan turun-
temurun dalam keluarga besar mertua saya, berdagang itu buruk
340 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang