Page 354 - Mozaik Rupa Agraria
P. 354
karena mendekatkan diri pada penipuan. Mereka percaya hidup
itu seharusnya nandur dan ngopeni, menanam dan memelihara.
Jadi, di mana pun mereka tinggal pekerjaan yang dipilih hanya
menanam atau memelihara. Demikian kepercayaan Gunarsih
isteri saya, Kang Gunarto kakak ipar saya, Kang Saimin dan Kang
Gunaryo sepupu isteri saya, dan tentu saja ayah mertua saya Pak
Gunadi, cucu dari orang rantai di Sawahlunto.
Saya bersyukur mereka menerima cara hidup saya. Saya pikir-
pikir, keluarga besar mertua saya ada benarnya. Bagaimana bisa
benda-benda dan pelayanan ditukar dengan berlembar-lembar
kertas bernama uang? Bukankah uang hanyalah alat tukar seperti
juga garam pada zaman dulu kala? Kenapa uang mesti dicari mati-
matian kalau akhirnya hanya ditukar dengan barang yang bisa
dihasilkan sendiri? Bukankah imbalan pertolongan seharusnya
bisa berupa segantang beras atau lauk, bukankah itu lebih nyata
dibutuhkan dalam hidup? Apa bisa uang langsung dimakan atau
disandang? Aneh lho, orang bekerja untuk mendapatkan uang
yang segera dibuang demi hal-hal yang langsung dibutuhkan.
Uang itu seperti upil, ingus kering, susah payah dicari hanya
untuk dibuang.
Keluarga besar mertua saya selalu berpakaian serba hitam
polos, sebagaimana sebagian kecil warga kampung ini. Konon
seluruh warga kampung ini berpakaian hitam, tetapi seiring
gerak zaman mereka yang berpakaian serba hitam berkurang.
Konon, warna pakaian yang mereka pilih mengandung pesan
bahwa pada dasarnya manusia itu tidak berbeda satu sama lain,
buktinya bayangan setiap manusia berwarna sama: hitam semata.
Tidak ada beda yang rambutnya gimbal dengan yang lurus, yang
bermata sipit dengan lebar, yang kulitnya gelap dengan cerah, yang
berkaki dua atau berkaki satu, yang dianggap genap dengan yang
dianggap ganjil; yang melek dengan yang merem; yang laki-laki
Gerakan dan Perjuangan Agraria 341