Page 359 - Mozaik Rupa Agraria
P. 359
Mbak Diah itu pintar sekali bercerita. Mereka suka menceritakan
perjalanannya ke pelosok-pelosok nusantara, tentang suku-
suku pemakan sagu, tentang candi-candi yang tersembunyi,
tentang upacara adat pembangkit mayat, tentang rajah suku-
suku pemburu dan peramu, tentang peperangan rokok filter
dan rokok klobot, tentang tragedi itik mati di tepi kali, tentang
gempa Jawa dan tsunami Aceh yang mengubah isi kepala para
korban bencana, tentang penjual nasi goreng berbumbu rahasia
yang tiba-tiba menghilang lalu muncul kembali, tentang sambal
kesukaan keluarganya yang lebih sedap tanpa kecap. Apapun bisa
mereka bikin jadi bahan cerita.
Mas Phitut dan Mbak Diah ingin menulis sejarah kampung ini,
menulis cerita-cerita kampung ini yang tidak ada di dalam buku-
buku pelajaran, menulis silsilah leluhur dan jejak-jejaknya sampai
zaman ini, menulis jenis dan watak alam di mana warga tinggal,
menulis alam pikiran warga. Saya membayangkan, bagaimana ya
menulis sejarah suatu kampung yang tak punya sejarah kampung?
Kata Mas Phitut zaman sejarah itu dimulai ketika orang mengenal
tulisan atau simbol. Kecuali saya dan mereka yang pernah sekolah
atau belajar mengenal huruf dan angka, warga asli kampung ini
tidak menuangkan kisah mereka dalam aksara, kisah mereka
tutur tinular, kisah-kisah yang diucap dan ditularkan. Mas
Phitut dan Mbak Diah mestinya mengajak warga membunyikan
sejarah kampung, bukan mengajak mereka menulis karena warga
kampung ini aslinya tak pernah menulis. Tapi, sejak awal Mas
Phitut dan Mbak Diah yang menulis, bukan warga kampung ini.
Jadi mungkin yang benar adalah sejarah kampung ini dituliskan
oleh orang lain. Persis saudara jauh saya yang buta, dia pernah
bertanya kenapa dia disebut buta? Apa buta itu? Tentu saja, istilah
buta dan pengertiannya berasal dari mereka yang tidak buta. Lalu,
kapan giliran orang ‘buta’ menentukan apa itu ‘buta’?
346 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang