Page 361 - Mozaik Rupa Agraria
P. 361

disoting bersama bintang film Jakarta. Kang Gunarto sebenarnya
           juga  tahu  dan bisa bahasa Indonesia karena  pernah belajar  di
           rumah, tapi dia selalu menjawab dengan bahasa asli kampung ini,
           meski pun kadang-kadang dia keceplosan berbahasa Indonesia.
               Waduh!  Soal  bahasa ini membuat kepala  saya  pusing.
           Bagaimana tidak? Di tempat asal saya, bahasa itu macam bangunan
           lantai tiga. Ada tingkatan-tingkatannya. Lantai satu tentu untuk
           manusia-manusia sejenis saya,  buruh  cuci,  tukang  batu,  tani
           gurem, buruh pabrik, pembantu rumah tangga. Lantai dua untuk
           yang lebih tua atau manusia-manusia bertangan halus, misalnya
           ya juru tulis, pegawai negeri, juragan, dan kaum sekolahan. Lantai
           tiga  untuk  manusia-manusia  unggul,  titisan dewata, wakilnya
           Tuhan  makanya disebut  Gusti  (maunya  setara  Gusti  Allah),
           para bangsawan,  ningrat  dari  tingkat  Bendoro, Raden,  sampai
           Mas Bekel. Mereka boleh  saja  pengangguran,  tetapi  selalu bisa
           berpenghasilan  karena sebutan  Gusti  itu  mendatangkan  upeti.
           Nah, mereka yang di lantai satu harus menggunakan bahasa lantai
           tiga kalau mau bicara dengan mereka yang di lantai tiga atau dua.
           Demikian juga mereka yang  di  lantai  dua harus menggunakan
           bahasa lantai tiga untuk mereka yang di tinggal di atasnya. Kalau
           menggunakan bahasa di lantai satu akan dianggap kurang ajar,
           tidak sopan, biadab. Bahasa lantai satu hanya dipakai oleh sesama
           penghuni  lantai  satu, atau  penghuni  lantai di atasnya  untuk
           penghuni lantai  satu. Bahasa lantai  dua  dan  tiga  tidak  pernah
           ada kata-kata umpatan, seperti Asu! Cangkem! Minggat! kata asu
           diganti  segawon artinya  sama: anjing.  Cangkem diganti  tutuk,
           artinya sama: mulut. Minggat diganti tindak, artinya sama: pergi.
           Demikian juga  kowe diganti  panjenengan  yang berarti  kamu,
           untuk kaum Gusti jadi Sinuwun atau Sampeyan Dalem. Jadi, ketika
           saya  tidak diupah, dipecat  tanpa alasan, atau dituduh  mencuri
           tanpa bukti, saya tidak bisa bilang sama majikan saya: asu kowe!
           Sebaliknya, majikan saya bisa seenaknya mengumpati saya karena


           348    Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
   356   357   358   359   360   361   362   363   364   365   366