Page 44 - Mozaik Rupa Agraria
P. 44
‘kering.’ Logika tersebut sama halnya dengan melihat tanah yang
dianggap tidak produktif. Secara kasat mata, klaim tersebut
barangkali benar, karena tidak sedikit hamparan pohon-pohon
jati sudah mendominasi di sebagain besar wilayah di Gunungkidul
yang turut menghilangkan tanaman lain. Bahkan program hutan
jati rakyat pada tahun 1970, menjadi agenda pembangunan
pemerintah Gunungkidul pada waktu itu. Sehingga pohon-pohon
1
jati itu tanpa disadari sudah menjadi bagian yang menubuh dengan
kehidupan masyarakat Jawa, khususnya di daerah Gunungkidul.
Meskipun klaim tanah tandus, kering ataupun kurang
produktif dapat ditepis dengan keberadaan gugusan karst yang
terbentang luas di sepanjang punggung wilayah Gunungkidul
sebagai penyimpan air alami dan beragam habitat yang hidup
di sana. Namun, gugusan-gugusan karst itu semakin hari
sudah semakin rata kondisinya dengan tanah. Mulai dari
aktivitas pertambangan batuan kapur hingga dibelah untuk
jalan raya. Semuanya hanya untuk memenuhi hasrat manusia,
tanpa mempedulikan keberadaan ekosistem lain yang hidup di
dalamnya. Dengan kondisi seperti itu, akan tiba saatnya mala
(bahaya) akan terus menghantui manusia-manusia yang telah
merusak alam itu sendiri.
Ekspansi tanaman jati pun terjadi juga di Desa Girisuko,
yang meninggalkan perubahan ruang sosio-ekologis sejak Orde
Baru. Sebagian besar warga Girisuko saat ini sudah terlanjur
menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian palawija yang
sangat terbatas jenisnya seperti jagung, kacang-kacangan,
singkong dan lainnya. Rata-rata mereka menggarap ladang di
lahan milik Kehutanan yang berlangsung sejak lama dengan
program Dinas Kehutanan. Awalnya pihak Kehutanan melakukan
skema mitra dengan kelompok tani setempat, namun secara
1 https://arupa.or.id/alur-sejarah-2/ (diakses 8/3/2013)
Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 31