Page 43 - Mozaik Rupa Agraria
P. 43
mulai dari memasang jaring, menggunakan plintheng (ketapel),
hingga membuat teriakan-teriakan untuk mengusir monyet-
monyet itu pergi. Akan tetapi, segala upaya yang sudah dilakukan
petani belum juga membuahkan hasil. Monyet-monyet itu
selalu datang di saat kondisi ladang sedang sepi ditinggal oleh
pemiliknya.
Perampasan ruang hidup warga sejak era rezim Orde Baru
hingga sekarang, ternyata masih terus berlangsung secara
massif. Seolah tidak ada hari libur bagi rezim yang berwatak
otoritarian hingga rezim saat ini yang berwajah neoliberal
untuk melanggengkan hasrat kuasanya. Semuanya masih dalam
spektrum yang sama, berorientasi pada wajah pembangunan yang
diproklamirkan dalam iming-iming kesejahteraan bagi rakyat.
Padahal, jika kita telusur lebih jauh, tidak sedikit megaproyek
nasional itu disponsori oleh para pemilik modal kakap baik
di tingkatan lokal, nasional maupun global, yang tidak sedikit
merampas ruang hidup warga.
Kemunculan kera di ladang-ladang petani, tidak lain karena
habitat mereka sudah mulai terusik. Sehingga satu persatu dari
mereka harus bermigrasi mencari rumah baru untuk bertahan
hidup. Sumber makanan mereka sudah mulai langka karena hutan
sudah semakin menghilang dan dibabat habis. Dalam beberapa
tahun belakangan, kawasan pesisir selatan Gunungkidul sedang
dibongkar habis untuk dibangun Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS).
Gugusan gunung Sewu di sepanjang Gunungkidul yang harusnya
dilindungi, terpaksa dipangkas dan dibelah dengan berbagai alat
berat. Pegunungan karts sebagai penyerap air alami dan rumah
bagi beragam ekosistem, kelak hanya tinggal cerita bagi anak
cucu.
Perampasan ruang hidup yang terjadi di wilayah Gunungkidul,
seringkali bermuara pada kalim sebagai daerah ‘tandus’ atau
30 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang