Page 46 - Mozaik Rupa Agraria
P. 46
terkena mesin pemotong kayu yang membuat tangan kanannya
putus separuh. Setelah kejadian traumatis itu, Parmin dan Semi
akhirnya memutuskan untuk pulang ke kampung. Sebelum
kembali berladang, Parmin juga sempat mencicipi kerasnya
menjadi kuli panggul kayu jati milik Dinas Kehutanan yang kelak
menjadi pemakan tanah-tanah desa.
Sementara anaknya, Suhar, sempat mengikuti jejak orang
tuanya untuk merantau ke wilayah Sumatera, bekerja sebagai
buruh perkebunan sawit. Tidak jauh berbeda dengan orang
tuanya, Suhar pun berpindah-pindah tempat dari satu kebun ke
kebun lainnya dan menghabiskan sekitar delapan tahun merantau
di perkebunan sawit Sumatera. Suhar pun akhirnya memutuskan
untuk pulang kampung mengikuti jejak orang tuanya tanpa
memiliki tabungan sedikitpun. Saat ini, Suhar bekerja serabutan
sebagai buruh bangunan di wilayah Yogyakarta hingga ke
sekitaran Jakarta. Kondisi Suhar dengan pekerjaannya yang tak
pasti, sama halnya dengan Parmin dan petani Girisuko lainnya
yang dirundung ketidakpastian di ladang-ladang yang tersisa.
Praktik migrasi ini jika ditelusuri sudah ada sejak masa
kolonial Belanda. Pemerintah kolonial belanda menyebut program
migrasi dengan istilah “kolonisasi.” Tujuannya tidak lain untuk
memindahkan penduduk di Jawa yang sudah mulai padat ke tanah
sebrang. Salah satu tujuan migrasi pada masa percobaan awal
adalah ke wilayah Lampung, Sumatera. Kebijakan ini dilanjutkan
oleh pemerintahan kolonial Jepang, Orde Lama, Orde baru,
Reformasi, hingga rezim saat ini. Istilah transmigrasi sendiri mulai
populer ketika masa pemerintahan Soekarno dan dilanjutkan oleh
Soeharto dengan istilah bedhol desa. Setiap masa memiliki corak
dan karakternya sendiri dalam melakukan pemindahan penduduk
dan memiliki kegagalan serta keberhasilannya masing-masing.
Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 33