Page 475 - Mozaik Rupa Agraria
P. 475
mereka orang Lampung yang membuat mereka yang dimukimkan
kembali bersama migran Jawa tidak bisa menerima kehadiran
orang Jawa dalam pemukiman transmigrasi. Migran Lampung
menolak pengalokasian lahan dan pertanian yang dipromosikan
dalam sistem pertanian dari skema transmigrasi.Kontrol simbolik
terhadap ruang dan ritual sengaja didesain oleh negara. Meskipun
diupayakan untuk menghadirkan Indonesia dalam konsep bangsa,
politik budaya, arsitektur, ritus dan ritual Indonesia yang inklusif,
otoritas kultural yang dominan nampak adalah kultur Jawa.
Dengan mengatur kelembagaan dan praktik bertani, transmigrasi
lokal menjadi semacam representasi ruang yang muncul dalam
warna geografi Jawa.
D. Kultur Transmigran Versus Kultur Masyarakat Asli
Konstruksi Jawa Indonesia atau Jawanisasi bukan kemudian
diterima tanpa resistensi dari masyarakat lokal. Pola-pola
resistensi dan benturan diantara transmigran Jawa dalam wujud
representasi ruang dalam program transmigrasi, sangat dinamis
dan kompleks. Transmigran dari Jawa ini dipresentasikan sebagai
‘petani-petani perintis’ (pioneer farmers), ditempa dalam dunia
orang Jawa di tanah Lampung, komunitas yang dianggap sebagai
sebuah kategori khusus dari organisasi sosial orang Jawa dan cara
mengolah tanah.
Masyarakat Lampung digambarkan sebagai orbitasi negara
yang memiliki derajat lebih rendah dibandingkan dengan para
transmigran tetangga mereka. Hal ini dapat dicermati dari tidak
adanya petani lokal yang memiliki sertifikat tanah meskipun
mereka telah mengusahakannya dari generasi ke generasi. Secara
tenurial mereka menjadi sangat rentan terhadap kehadiran
pertanian korporasi atau pertanian skala besar. Mereka sendiri
menyebut dirinya sebagai ‘anak tiri’ dalam proses transmigrasi
yang berjalan. Mereka merasa tidak mendapat manfaat seperti
462 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang