Page 477 - Mozaik Rupa Agraria
P. 477

ini memandang bahwa pencangkulan merupakan teknologi yang
           canggih dalam mengolah dan membersihkan tanah, tidak seperti
           ladang-ladang orang Lampung yang cenderung kotor.
               The Lampong people  were, in  general,  little  inclined
               to  abandon  their  extensive form  of agriculture for the
               intensive form practiced  by the Javanese, even though
               shortate of land made itself badly felt. The use of changkul,
               the common  tool in  Jawa  for  preparing  ricefield  for
               cultivation, was rejected by them with the rationalization
               that the work  wass to heavy - whic earned  them  a
               reputation of laziness among the Javanese, though when
               using the chopping-knife in the jungle the did not shrink
               from heavy work. 7

               Hal inilah  yang memunculkan  penolakan keras  dari
           masyarakat lokal  yang  menganggap bahwa  mereka  tidak  perlu
           mengerjakan  tanah  seperti  yang  dilakukan oleh  orang  Jawa.
                                                                      8
           Begitupun dengan  teknik  penanaman  yang  biasa dilakukan
           orang  Jawa  dengan  menanam  benih  yang  sudah  disemaikan
           terlebih dahulu, orang Lampung langsung menabur benih begitu
           saja.  Orang  Lampung menanam benih  dengan berjalan maju
           dan  menghamburkan  benih dengan  tangan,  sementara orang
           Jawa berjalan mundur  dan menanam  dengan  tegak lurus.  Bagi
           orang Jawa menanam dengan teknik ini dianggap lebih mudah,
           sementara bagi  orang Lampung  teknik ini  dianggap  terlalu
           membutuhkan banyak waktu. Mereka ini dikatakan oleh Dove,
           menolak mode livelihood petani Indonesia atau praktek pertanian
           Jawa-Indonesia. Dalam hal inilah pertanian padi bukan sekedar


           7   Lihat Wertheim, 1959:190.
           8   Dalam konteks ‘wet agriculture’ atau persawahan inilah Wertheim kembali mencatat bahwa
               persawahan sangat bergantung pada kondisi alam seperti tanah dan ketersediaan air. Terlebih
               lagi, tanah-tanah di pulau-pulau luar Jawa tidak selalu bisa dipastikan sesubur tanah-tanah
               yang ada di Jawa. Selain itu konstruksi irigasi dalam skala besar membutuhkan investasi yang
               tidak sedikit. Di Jawa jaringan irigasi sudah dibangun secara bertahap selama berabad-abad.
               Mengubah praktik berladang dengan bersawah sangat tidak praktis dan tidak realistis.

           464    Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
   472   473   474   475   476   477   478   479   480   481   482