Page 142 - Kembali ke Agraria
P. 142
Kembali ke Agraria
Demetrio Cristodolou (1990), seorang mantan pejabat senior FAO
(Food and Agriculture Organisation) menyimpulkan bahwa land re-
form atau reforma agraria adalah anak cucu dari konflik agraria.
Namun, reforma agraria tidaklah sesempit penyelesaian konflik
agraria. Tujuan umumnya adalah penciptaan keadilan sosial, pening-
katan produktivitas dan kesejahteraan rakyat, khususnya kaum tani.
Dalam pelaksanaan reforma agraria, peran negara (khususnya
pemerintah) tidaklah tergantikan. Seorang ahli pembaruan agraria,
Solon Baraclough menunjukkan bahwa pembaruan agraria tanpa
partisipasi negara adalah suatu “contradiction in terms”. Ahli lainnya,
Hung-chao Tai (1974), menandaskan bahwa agar mujarab, program
land reform bukan hanya membutuhkan usaha pemerintah, melain-
kan harus disusun sebagai operasi paksa mengubah struktur agraria
secara drastis dalam waktu yang cepat.
Program pokok
Untuk memuluskan pembaruan agraria, ada banyak hal yang
mesti diurus dan disiapkan. Kita dapat mendasarkan diri pada
pengalaman 12 negara—Chile, Ekuador, Mexico, Nicaragua, Mesir,
Siria, Libya, Tunisia, Kenya, Spanyol, Italia dan Taiwan, sebagaimana
dilaporkan Sein Lin (1974) dalam buku Land Reform Implementation: A
Comparative Perspective. Ada sepuluh aspek utama: mandat konstitu-
sional, hukum agraria dan penegakannya, organisasi pelaksana, sis-
tem administrasi agraria, pengadilan, desain rencana dan evaluasi,
pendidikan dan latihan, pembiayaan, pemerintahan lokal, dan orga-
nisasi petani.
Dalam konteks inilah, peran kepemimpinan nasional untuk
membuka jalan yang lapang bagi praktik pembaruan agraria dibu-
tuhkan—bahkan tak tergantikan. Mengikis habis ketimpangan, me-
nuntaskan konflik sekaligus memulihkan lingkungan hendaknya
menjadi tiga agenda pokok kepemimpinan nasional Indonesia masa
depan.
Setelah secara konsepsi, pembaruan agraria dijadikan bagian
123