Page 138 - Kembali ke Agraria
P. 138
Kembali ke Agraria
berdaya Agraria, dapatlah disimpulkan bahwa RUU ini bukan upaya
menyempurnakan UUPA seperti yang dimaksud para pendorong
revisi UUPA—salah satunya KPA sejak 1995. RUU ini sangat gam-
blang berniat mengubah dan mengubur UUPA. Perhatikan pasal 67
RUU itu, “Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan-
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dinyatakan tidak berlaku”.
Belasan pasal masih relevan
Dalam hal prosedur perubahan, seperti ditekankan Ahmad
Sodiki (2004), pembaruan yang dipilih oleh konseptor RUU ini adalah
dengan perubahan total atau penggantian tanpa mempertimbangkan
aspek positif UUPA. Dengan demikian RUU tentang Sumberdaya
Agraria bukanlah upaya untuk menyempurnakan, melainkan
mengubah dan mengganti secara keseluruhan UUPA. Suatu upaya
berbahaya, karena ada belasan pasal dalam UUPA yang masih relevan
dengan kebutuhan bangsa sehingga perlu dipertahankan.
Di sisi lain, upaya mengganti UUPA sesungguhnya dapat dika-
takan bertentangan dengan Tap MPR No. IX/2001, yang (dalam pasal
6) “menugaskan DPR RI bersama Presiden RI untuk segera mengatur
lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber
daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua
undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan
dengan Ketetapan ini” (–cetak miring dari penulis). Jika dikaji
saksama, UUPA bukanlah UU “yang tidak sejalan”, ia justru signi-
fikan dijadikan dasar bagi praktik pembaruan agraria sebagaimana
dimandatkan TAP itu.
BPN sangat eksklusif. Proses penyusunan RUU Sumberdaya
Agraria tak dapat dikatakan legitimate. Departemen/instansi terkait
agraria lain sekadar dikonsultasi oleh BPN. Hal ini berbeda jauh
dengan proses panjang dan terbuka yang dilakukan penyusun UUPA,
di bawah kepemimpinan Soekarno. Perumusan Rancangan UUPA
digarap Panitia Negara yang terdiri dari pejabat pemerintah, anggota
119