Page 133 - Kembali ke Agraria
P. 133
Usep Setiawan
Berbarengan dengan itu, sejumlah peraturan perundangan-undangan
agraria disusun sendiri-sendiri sehingga memicu disharmoni kebi-
jakan sebagai implikasinya. Bahkan, berbagai kebijakan agraria telah
menuai ketegangan yang menjurus konflik antarkebijakan.
Penetapan visi, misi, dan program sektoral yang sendiri-sendiri
hanya dapat dipahami (disetujui) lingkaran dalam departemen sek-
toral bersangkutan. Kenyataan ini terpantul dari berbagai rumusan
peraturan perundang-undangan yang parsial dan menempatkan
kekayaan alam secara eksklusif, tidak integrated sebagai satu kesatuan
ekosistem yang semestinya diurus secara holistik. Kekeliruan kebi-
jakan agraria terutama tercermin pada fenomena konsentrasi pengu-
asaan tanah dan kekayaan alam di tangan sekelompok kecil orang
berduit, sementara puluhan juta petani dibiarkan tak bertanah dan
tergusur terus.
Kebijakan yang ada sudah carut-marut, kini sejumlah departe-
men sektoral malah mengajukan agenda legislasi baru berupa
penyusunan RUU sektornya sendiri-sendiri. Sering dikatakan, penga-
juan RUU tanpa pengkajian ulang atas kebijakan yang masih berlaku
(policy review) bukan saja tidak menjadi solusi, tetapi akan melang-
gengkan kekeliruan kebijakan. Yang dinantikan ialah persamaan
kesadaran akan pentingnya platform bersama yang meletakkan tanah
dan kekayaan alam sebagai milik bersama dan milik bangsa, memin-
jam Prof Maria S.W. Sumardjono (2003), sebagai public goods atau
social goods. Karena itu, penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan
tanah dan kekayaan alam hendaknya mencerminkan semangat
“untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, sebagaimana dipahat
Pasal 33 Ayat 3 konstitusi kita.
Dalam kenyataan inilah gagasan tentang pembaruan kebijakan
agraria hendak diletakkan. Namun, ide harmonisasi kebijakan agraria
yang diajukan BPN- UGM tidak perlu menjebak kita masuk perangkap
perubahan yang tambal sulam sehingga tidak efektif mengubah prob-
lem agraria yang sebenarnya.
114