Page 194 - Kembali ke Agraria
P. 194
Kembali ke Agraria
paradigma populer di era Soekarno: “tanah untuk rakyat”. Pem-
bangunan infrastruktur mutlak butuh tanah dan infrastruktur men-
jadi prasyarat bagi pelaksanaan pembangunan berikutnya. Di zaman
Soeharto, aspek pertanahan harus tunduk pada kemauan pem-
bangunan. Jika perlu, pemilik tanah digusur tanpa kompensasi
seperak pun. Dulu, ketika jalan digelar, waduk dibendung, jaringan
listrik dibentangkan, pabrik industri didirikan, kerap kita dengar
rakyat merintih. Kekerasan sering dipakai untuk menggusur rakyat
demi pembangunan.
Di era Soeharto, barang siapa tak mau menyerahkan tanahnya
untuk pembangunan, maka distempel antipembangunan. Siapa
berani menggalang kekuatan menolak proyek pembangunan yang
menggusur tanah rakyat, maka tudingan perongrong pemerintahan,
subversif, makar, dan tuduhan seram lainnya segera ditimpakan.
Kisah tragis di era Soeharto ini kembali membayang saat ruh pem-
bangunan yang semirip kini digencarkan. Demi mulusnya investasi
masuk ke Tanah Air, kini pemerintah menyiapkan infrastruktur dan
menyediakan berbagai kemudahan bagi investor (asing)—termasuk
segepok dasar legalnya—agar tertarik menanamkan modalnya. Tidak
heran jika pembangunan jalan tol, kereta api, bandara, pelabuhan,
bendungan, listrik, dan sebagainya kini digelorakan.
Bagi rakyat yang tanahnya terpakai untuk pembangunan infra-
struktur, terimalah ganti rugi dari pemerintah/pelaksana proyek. Di
masa lampau, ganti rugi bermakna kerugian rakyat, materi maupun
nonmaterial. Perbaikan sistem ganti rugi inilah yang dengan tangkas
dipromosikan Prof. Maria dalam artikelnya tadi.
Komoditisasi tanah
Jika ditelusuri, wacana “tanah untuk pembangunan” berakar
pada paradigma “tanah sebagai komoditas”—barang dagangan. Eko-
nomi sebagai panglima—membutuhkan kepastian dan perlindungan
hukum atas pengadaan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah untuk
pembangunan. Rezim pembangunan menghendaki jaminan kuat
175