Page 199 - Kembali ke Agraria
P. 199
Usep Setiawan
untuk mencabut hak rakyat atas tanah. Presiden telah memberi ke-
wenangan sangat besar kepada dirinya sendiri untuk mencabut hak
milik atas tanah (Psl. 3 dan 10).
Perpres ini pantas dikritisi publik karena potensi implikasi sosial,
politik, ekonomi, yuridis bahkan keamanan yang ditimbulkannya.
Perpres ini dapat memproduksi konflik sosial yang dipicu konflik
agraria/sengketa tanah di kota, desa, hingga pedalaman.
Perlu kewaspadaan
Sebelum Perpres ini, terdapat Keppres No 55/1933 yang menga-
tur substansi yang sama. Jadi, isi Perpres ini sesungguhnya bukan
perkara yang sama sekali baru. Perpres ini dapat dikatakan sebagai
penguatan isi Keppres tersebut, dengan kadar potensi represivitas
yang jauh lebih tinggi. Kita sudah tahu bahwa Keppres No 55/1993
di masa Soeharto telah menyebabkan banyak tragedi penggusuran
tanah rakyat untuk kepentingan “pembangunan kepentingan
umum”. Saat itu, penggusuran dianggap “legal” karena dipayungi
hukum (Keppres). Perpres 36/2005 akan mengulangi bahkan mem-
perdahsyat tragedi penggusuran yang memilukan seperti terjadi di
era Soeharto.
Terdapat dua hal penting yang perlu diwaspadai. Pertama, Per-
pres ini bisa menjadi jembatan bagi masuknya investasi secara lebih
gencar. Ini bisa kita lacak dari kronologis keluarnya Perpres yang
merupakan tindaklanjut dari infrastructur summit (Januari 2005) yang
menghendaki fasilitasi atau kemudahan bagi investor mendapatkan
tanah untuk kepentingan investasi. Bisa dikatakan Perpres ini meru-
pakan “jalan tol” bagi kepentingan modal raksasa (asing) yang hen-
dak membiakan kekayaannya di negeri kita. Kedua, Perpres ini dapat
dijadikan alat legitimasi praktik politik otoriter di bidang pertanahan
(agraria). Otoritarianisme berupa kewenangan pemerintah (c.q. Presi-
den) yang begitu besar untuk mencabut hak rakyat atas tanah bisa
jadi preseden buruk. Kelakukan represif yang dipertontonkan peme-
rintahan produk pemilu demokratis sudah di pelupuk mata.
180