Page 362 - Kembali ke Agraria
P. 362
Kembali ke Agraria
penataan ulang struktur penguasaan tanah (landreform). Sayangnya,
keburu terhenti akibat jatuhnya Bung Karno. Jika Bung Karno dikenal
sebagai pemimpin yang populistik dan Bapak Marhaen yang menga-
nut politik agraria populistik, Pak Harto dipersonifikasikan sebagai
Bapak Pembangunan yang boleh jadi merupakan penghalusan dari
penganut setia politik agraria kapitalistik.
KPA pernah melansir data kasus pertanahan yang mencapai
ribuan. Kasus tanah sepanjang Orde Baru ribuan jumlahnya. Data-
base KPA mencatat setidaknya ada 1.753 kasus sengketa tanah atau
konflik agraria yang sifatnya struktural—artinya disebabkan oleh
penggunaan dan/atau penyalahgunaan kekuasaan negara yang
dijalankan pemerintahan: bukan sengketa antarwarga yang sifatnya
individual. Faktanya di lapangan bisa sepuluh kali lipat banyaknya.
Konflik agraria ini terus terjadi tanpa ada upaya saksama pemerintah
dalam menyelesaikannya. Rakyat terus berjatuhan sebagai korban,
sementara aparat yang melakukan kekerasan selalu lolos dari jerat
hukum.
Apa akar persoalan pertanahan itu?
Politik agraria yang dianut rezim pemerintahan yang berkuasa.
Sepanjang rezimnya menganut politik agraria yang kapitalistik, otori-
tarian, dan represif, sengketa agraria struktural akan terus terjadi.
Kita mesti terlebih dahulu bersepakat untuk mengubah politik agraria
kita, dari politik agraria yang progolongan ekonomi kuat (kapitalis)
menjadi progolongan ekonomi lemah.
Adakah kaitannya dengan “tuan tanah”? Atau karena faktor
pertambahan penduduk?
Jika ditelisik, telah terjadi pergeseran aktor dari tuan tanah di
era Indonesia masa lampau dengan realitas sekarang. Dulu, tuan
tanah itu perusahaan besar kolonial yang bergerak di berbagai sektor
keagrariaan dan juga kaum feodal pribumi yang berwujud tuan tanah
pribadi individual. Sedangkan di era “pembangunan” dewasa ini,
343