Page 367 - Kembali ke Agraria
P. 367
Usep Setiawan
pelik pemicu konflik agraria (sengketa tanah). Penelantaran tanah
kerap mengandung motif spekulasi untuk mendapatkan keuntungan
mudah atas selisih jual beli tanah. Dalam banyak kasus rakyat men-
coba masuk dan menggarap tanah-tanah yang secara fisik telantar.
Namun, secara legal formal rakyat disalahkan karena menggarap
tanah yang secara hukum masih hak pihak lain. Penggarapan tanah-
tanah “telantar” oleh rakyat yang memicu persoalan hukum hen-
daknya disikapi secara arif dan bijaksana. Menyalahkan langsung
tindakan rakyat harus dihindari. Penggunaan dasar-dasar juridis
formal semata tak akan menjawab persoalan sengketa ini. Alasan-
alasan sosio-historis dan sosio-ekonomis hendaknya dipertimbang-
kan dalam penanganan sengketa tanah telantar.
Ada korelasi positif antara pentingnya menertibkan dan menda-
yagunakan tanah telantar dengan keperluan menutup defisit kebu-
tuhan lahan bagi rakyat, khususnya petani miskin. Perbaikan pro-
sedur dan mekanisme penertiban dan pendayagunaan tanah telantar
akan memastikan keberadaan tanah-tanah telantar sebagai objek
potensial reforma agraria.
Langkah pemerintah, melalui BPN merevisi PP 36/1998, sangat
tepat dan perlu disegerakan karena terkait dengan persiapan pelak-
sanaan reforma agraria mulai 2007. Selama ini, PP 36/1998 sebagai
aturan tanah telantar dianggap menyulitkan pelaksana kebijakan.
Banyak celah yang bisa “dimainkan” para pemegang hak atas tanah
untuk berkelit agar tanahnya yang secara fisik telantar, tapi secara
yuridis sulit dinyatakan telantar. Menurut Puslitbang BPN (2000),
kendala implementasinya, pertama, belum ada kesamaan persepsi
atas tujuan pengaturan. Kedua, kriteria objek tanah telantar belum
jelas. Ketiga, masalah keperdataan bekas pemegang hak. Keempat,
jangka waktu penilaian tanah telantar.
Langkah terobosan
Merevisi PP 36/1998 pada intinya bermakna terobosan aturan
agar penetapan suatu bidang tanah “telantar” menjadi telantar jadi
348