Page 386 - Kembali ke Agraria
P. 386
Kembali ke Agraria
kehidupan, dan hindari pengarusutamaan kepentingan investasi
skala besar melalui liberalisasi pertanahan yang selama ini memicu
massifnya konflik agraria yang merugikan rakyat, bangsa dan negara.
Harapan akan lahirnya produk-produk legislasi pertanahan/
keagrariaan yang holistik dan populistik, kini bertarung dalam arus
deras neo-liberalisme. Arus ini dengan hebatnya merambah ke relung
pikiran elit politik sehingga mengarahkan kebijakan publik ke arah
neo-imperialisme alias penjajahan baru yang membiaskan makna
kemerdekaan republik ini.
Perlu diwaspadai
Untuk itu, sektoralisme dan liberalisme yang menghantui politik
agraria nasional selama ini, dan mungkin kelak menjangkiti RUU
Pertanahan perlu dicegah sedini mungkin. Ini penting, jika peme-
rintah serius mau reforma agraria, dengan meletakkan UU Pertanahan
sebagai dasar hukum efektif bagi reforma agraria, bukan sebaliknya.
Lebih jauh, RUU Pertanahan hendaknya mengandung semangat
dan substansi yang menjadikan pertanahan sebagai urusan men-
dasar yang menuntut perhatian dan tanggungjawab semua pihak di
pemerintahan maupun publik luas. Kepentingan pemilikan, pengu-
asaan, dan pemanfaatan tanah bagi rakyat yang termasuk golongan
ekonomi lemah/miskin haruslah diprioritaskan.
Dalam pidato memperingati Hari Agraria Nasional 24 Septem-
ber 2007, Joyo Winoto (Kepala BPN RI) menggariskan: “Reforma
agraria membutuhkan proses politik dan hukum. Jalan membangun
konsensus. Jalan untuk menata politik dan hukum pertanahan dan
keagrariaan kita—untuk tujuan ke depan, secara taat asas kepada
Pancasila, UUD 1945, dan UUPA. Itu komitmen awal yang didapat.
Itulah langkah awal yang tersepakati dengan DPR-RI. Kita berproses
menyusun undang-undang pertanahan di bawah payung UUPA”.
Jika disimak, tampak jelas arah penyusunan RUU Pertanahan akan
konsisten dan konsekuen dengan UUPA sebagai payung politik-
hukum agraria nasional. Namun pertanyaannya, ke arah mana arus
367