Page 381 - Kembali ke Agraria
P. 381
Usep Setiawan
Masalah paling mendasar di Kampung Naga adalah hilangnya
tanah karuhun (leluhur) yang diambil penjajah Belanda. Sebagian
besar tanah adat Orang Naga kini dijadikan hutan pinus oleh Per-
hutani (perkebunan milik negara) dan perkebunan teh (swasta).
Pengalihan penguasaan dan fungsi kawasan ini sudah berlangsung
sejak penjajah masuk dan mengembangkan perkebunan di
Nusantara.
Kini, lahan yang diakui pemerintah sebagai tanah Orang Naga
hanyalah tanah seluas 1,5 hektar yang di atasnya berdiri 110
bangunan perkampungan sekitar 150 keluarga. Masyarakat adat
kerap jadi korban, sejak masa kolonialisme hingga era “pembanguna-
nisme”. Hilangnya tanah adat membuat eksistensi masyarakat adat
terguncang. Pemerintah RI, seperti diungkapkan tokoh Naga, hanya
meneruskan kebijakan penjajah. Buktinya, tanah adat mereka hingga
kini belum dikembalikan.
Transformasi berkeadilan
Hasil pengamatan (YP2AS, 1997) terhadap kampung-kampung
adat di Pulau Jawa menemukan problem pokok yang dihadapi
hampir seluruh kampung adat adalah berpindah tangannya tanah
yang menjadi wilayah adat mereka ke pihak luar. Di Pulau Jawa
terdapat sejumlah komunitas masyarakat adat yang masih setia pada
aturan leluhurnya, seperti Kasepuhan Banten Kidul, Ciptarasa
(Sukabumi), Kampung Dukuh (Garut), Kampung Naga (Tasikma-
laya), Kampung Kuta (Ciamis), dan Baduy (Lebak). Sedangkan di
Jawa Tengah ada Orang Samin (Sleman, Yogyakarta), dan di Jatim
dikenal Orang Tengger (Malang dan Purbalingga), serta Orang Osing
(sekitar tapal kuda, Banyuwangi).
Masyarakat adat (indigenous peoples) tak mungkin pupus dari
sketsa kultural bangsa Indonesia karena ia adalah unsur utama
pembentuknya. Masyarakat adat, sebagai suatu kelompok masyarakat
yang mengatur interaksi antar mereka dan dengan alam berdasarkan
kaidah, norma, dan hukum adat. Masyarakat adat hidup dalam
362