Page 398 - Kembali ke Agraria
P. 398
Kembali ke Agraria
di dalam korporasi pengelolaan hutan, laju perusakan hutan secara
massif, dan disertai pelanggaran hak asasi manusia.
Paradigma lama sudah waktunya ditinggalkan. Perlu paradig-
ma baru yang kontekstual zaman dan selaras kepentingan simultan
sosial, ekonomi dan ekologis. Masyarakat sekitar hutan jangan jadi
objek atau penonton, apalagi korban. Karenanya, wajib diajak bicara
tentang kemauan dan kebutuhannya. Mereka harus dilindungi dan
didorong kemampuannya dalam memenuhi keselamatan dan
kesejahteraan hidupnya.
Model pengelolaan hutan oleh rakyat yang hasilnya dinikmati
secara adil bagi semua adalah dambaan kita. Karena keadilan bersa-
ma dapat efektif mencegah perusakan hutan, sehingga bisa memper-
panjang layanan alam. Mendorong kemampuan kolektif rakyat dalam
menghasilkan syarat-syarat keselamatan dan kesejahteraan hidup-
nya.
Dengan produksi kolektif, nilai kemakmuran dinilai berdasar
tingkat kesejahteraan bersama (Sangkoyo, 2000). Sekarang kita butuh
model pengelolaan hutan yang memungkinkan terjadinya pemulihan
dan mencegah perusakan hutan sekaligus lebih berkeadilan sosial.
Untuk itulah, paradigma eco-populism layak dipilih.
Belajar dari SPP
Kerumitan terhampar dari paradigma yang tegang antara refor-
ma agraria dengan kukuhnya kuasa rezim kehutanan. Kekusutan
juga melekati peraturan perundangan dan kelembagaan, bahkan di
balik sumsum kultur dan psikologis birokrat kehutanan. Dalam sebu-
ah diskusi, penulis terhenyak mendengar seorang pejabat kehutanan
berujar: “Reforma agraria: Yes!, tapi distribusi tanah kehutanan: No!”.
Penataan ulang sektor kehutanan itu padahal keniscayaan jika mau
merombak struktur ketimpangan penguasaan tanah/kekayaan alam.
Secara operasional, perlu audit menyeluruh terhadap segala jenis
usaha kehutanan yang selama ini ada. Keberadaan Perhutani, Inhu-
tani, dan seluruh perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan
379