Page 409 - Kembali ke Agraria
P. 409
Usep Setiawan
Jika menengok keadaan di pedesaan, kenyataan tak kalah mem-
prihatinkan. Malah memilukan. Banyak pemuda desa tak lagi suka
menjejakkan kakinya di ladang/sawah. Tak sedikit pemudi desa
memilih ke kota mengadu nasib jadi pembantu rumah tangga. Bila
perlu, terbang ke negeri orang jadi tenaga kerja wanita/Indonesia.
Sosiologi pedesaan
Kaum muda desa tak lagi punya harapan pada pertanian. La-
dang dan sawah sebagai pangkal penghasil produk pertanian pangan
mulai ditinggalkan, karena tak lagi menjanjikan pendapatan cukup.
Untuk kebutuhan primer pun tak bisa mengandalkan hasil pertanian.
Para orang tua di desa tak berkeinginan punya anak petani. Daripada
menyaksikan anaknya menganggur, para orang tua lebih mendorong
anak-anaknya jadi buruh di kota, sekalipun berupah murah dan per-
lindungan kerja alakadarnya.
Orang desa rela pergi kota untuk jadi apa saja, asal jangan keli-
hatan menganggur karena itu aib. Sering orang miskin dari desa
terpaksa “mengungsi” jadi kaum miskin di kota sebagai gelandangan,
pengemis, pemulung, pengamen dan sejenisnya. Mengecilnya minat
generasi muda terhadap studi pertanian dan bangkrutnya masa de-
pan pedesaan, yang dilengkapi tak tertahannya laju deras arus urba-
nisasi merupakan dampak dari kebijakan pertanian dan pedesaan
di masa lalu. Prof. Sediono M.P. Tjondronegoro, pakar agraria dan
sosiologi pedesaan menyimpulkan bahwa Indonesia adalah negara
agraris yang mengingkari agraria (pertanian).
Dalam bukunya yang berjudul “Negara Agraris Ingkari Agraria”
(Akatiga, April 2008) Prof. Tjondronegoro menegaskan sikapnya dalam
meletakkan agraria sebagai masalah pokok bangsa dan menjadikan
reforma agraria sebagai solusi sekaligus strategi dasar pembangunan
nasional yang seharusnya dijalankan. Ia mengaitkan masalah pem-
bangunan dan masyarakat desa, dengan cara menunjukkan kete-
gangan konseptual antara pembangunan pertanian versus indus-
trialisasi, dan kebijakan pembangunan pedesaan versus urbanisasi.
390