Page 47 - Kembali ke Agraria
P. 47
Usep Setiawan
terjadi proses paksa untuk menciptakan orang-orang yang tidak lagi
bekerja terikat pada tanah dan alam, tetapi pada tenaga kerja yang
melekat pada dirinya saja, lalu mereka menjadi para penganggur
pekerja bebas, proses itu juga disertai berbagai gejala lain yang menyer-
tainya, seperti pergi menjadi pengungsi dari tanah mereka berasal
(land refugee) ke kota-kota. Kantung-kantung kemiskinan di desa-desa
dan di kota-kota tidak lain dan tidak bukan juga dilahirkan oleh proses
demikian ini, baik yang berjangka waktu pendek maupun panjang. 20
Cerita sejarah penindasan atas golongan-golongan rakyat pede-
saan di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin bukanlah cerita
baru, terutama bagi mereka yang meneliti, menulis, membaca dan
mengajar sejarah. Tema penindasan dan perlawanan ini telah mengisi
wajah pedesaan yang merentang dari dulu hingga sekarang (untuk
kasus Jawa lihat Kartodirdjo 1971, 1973, untuk Asia Tenggara lihat
Jacoby 1961 dan Adas 1979). Protes-protes agraris ini, dan kekerasan
negara yang dipergunakan untuk menaklukkan mereka, perlu dipa-
hami dalam hubungan dengan politik dan hukum agraria yang ikut
menghasilkannya, dan lebih luas dari itu adalah dalam konteks per-
kembangan kapitalisme dan pembentukan negara (Fauzi 1999).
I.3:277). Berangkat dari teorisasi Adam Smith ini, Karl Marx mengembangkan kon-
sepsi teori mengenai apa yang kemudian disebut sebagai primitive accumulation,
yang mendudukkan proses perampasan tanah ini sebagai satu sisi dari mata uang, dan
kemudian memasangkannya dengan sisi lainnya, yaitu penciptaan tenaga kerja bebas
(Marx, Das Capital, 1867). Uraian menarik mengenai konsep “original accumula-
tion” dari Adam Smith dan “primitive accumulation” dari Karl Marx, dan relevansinya
untuk memahami perkembangan kapitalisme dewasa ini, dapat ditemukan dalam
Perelman (2000) dan De Angelis (2007).
20 Menurut De Angelis, modal (capital) harus dipahami sebagai sebuah kekuatan
(force). Sehingga sehubungan dengan karakter utama dari modal yang senantiasa
melakukan pelepasan paksa hubungan antara rakyat dengan tanah dan sumber daya
alam, maka modal harus dipahami sebagai enclosing social force (De Angelis 2004:59,
n . 5). Ia mengelompokan enclosure menjadi dua model implementasi, yakni: “(i)
enclosure adalah sebuah rancangan yang didasar pada adanya “kekuasaan atas” (power
over) kelas sosial lainnya, dan (ii) enclosure sebagai sebuah akibat yang tak direncanakan
(unintended by-product) dari proses akumulasi. Dalam bahasa ekonomi hal itu dikenal
sebagai “negative externalities” (De Angelis 2004:77-78).
28