Page 142 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 142
132 Di Atas Krisis Sosial-Ekologis Semacam Apa
Megaproyek MP3EI Bekerja?
1. Masyarakat harus membantu perusahaan untuk meminta pada pihak Pemda Morowali dan Dinas pertambangan untuk
menciutkan lahan PT Genba Mineral 2. Bentuknya masyarakat melakukan aksi ke DPRD Kabupaten Morowali, tetapi
sebagian masyarakat ada bentuk perjanjian semacam ini.
2. Imbalannya, perusahaan akan memberikan dana pada masyarakat melalui Koperasi sebanyak 10.000 rupiah per metric
ton. Uang itu dibayarkan setiap pengapalan, disebut sebagai royalty di luar dari dana Comdev.
Pencairan terakhir yang diterima oleh masyarakat pada bulan September 2013, sebesar 716 juta rupiah. Dana itu adalah
pemberian terakhir dari PT Sinosteel karena usaha masyarakat untuk menciutkan IUP PT Genba dianggap tidak berhasil.
Sebab tidak terbit revisi IUP dari Bupati sebagaimana yang termaktub dari perjanjian. Hal ini juga memicu perusahaan ini
dan elit pengurusnya beralih dukungan politik dari Anwar Hafid.
Pada bulan September 2013 seluruh cerita konspirasi ini terkuak termasuk siapa saja yang ikut membiayai aksi. Beberapa
aktor desa sudah tidak dipercayai lagi oleh masyarakat dan perusahaan. Mereka juga sudah kehabisan anggaran untuk me-
lawan perusahaan karena aksi-aksi bersumber dari potongan uang kapal yang diberikan PT Genba. Masyarakat menyesal
karena telah merasa ditipu oleh beberapa oknum dan elit-elit desa tersebut.
PT Genba baru membayar tanah tanah pada dua orang yaitu sebesar 315 juta rupiah. Sejak saat itu PT Genba hanya ber-
urusan dengan dua orang tersebut. PT Genba sendiri dalam melakukan tambang di Desa Mohoni menggunakan bahan
peledak untuk menghancurkan gunung batu di Desa Mohoni. PT Genba itu tambang awalnya hanya sekitar berapa ratus
hektar yang terdiri dari APL. Masyarakat Lembo Raya mengklaim lahan itu milik mereka, sebaliknya Desa Bimor Jaya juga
mengklaim lahan itu, jadi sama-sama mengklaim. Sebagian lahan itu sudah dibebaskan pada 22 masyarakat pemilik lahan
oleh PT Sinostell. Namun walaupun PT Sinosteel yang bayar, PT Genba tetap bersikeras mengolah lahan itu karena dianggap
masuk dalam arena IUP milik mereka.
Kasus yang melibatkan PT Genba dan masyarakat ini yang diekspos oleh berbagai media, merupakan pertarungan kedua
perusahaan itu atas lahan tambang. Sebaliknya, setelah kerjasama masyarakat dengan Sinosteel itu gagal, PT Genba masih
berpatokan pada aturan hukum. Apa yang disebut dengan royalti bagi mereka itu harus dibayarkan pada Pemda, bukan pada
41
pemerintah desa.
Akhir
Pengalaman sejarah yang ditulis dalam berbagai karya akademik mengkonfirmasi bahwa karakter komodifikasi alam dalam
industri pertambangan sejak era kolonial, regim Orde Baru hingga kini, belum banyak mengalami perubahan signifikan.
Masalah pertambangan selalu identik dengan pelanggaran HAM, penyingkiran penduduk lokal, eksploitasi tenaga kerja.
Selan itu, ekonomi tambang seringkali menjadi magnet bagi mobilitas perpindahan penduduk dan timbulnya masalah ekologi
seperti, pencemaran air, udara rusaknya mata rantai ekosistem (Erman, 2005, Bachriadi, 1998).
Hadirnya tambang juga mendorong terjadinya perampasan tanah, konflik kelas, dan terbentuknya zona-zonasi ruang, mulai
dari satuan blok produksi hingga penciptaan sirkuit baru atas rantai produksi komoditi. Proses itu menempatkan rakyat se-
bagai korban atas sebuah struktur ekonomi politik, yang bekerja dalam pengaturan industri pertambangan domestik cende-
rung memihak perusahaan. Hal itu dilakukan tidak saja dalam konteks antara provinsi dalam skala pulau, tetapi juga berlaku
dalam skala nasional lewat sejumlah instrumen perundang-undangan yang ketat (Sangaji, 2002, Daeng 2009).