Page 85 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 85
75
MIFEE: Perampasan Tanah dan Krisis di Tanah Malind
4
Dalam memenuhi target tersebut membutuhkan suplai kayu minimal sebesar 5 juta m³ per tahun. Seluruh bahan baku akan
disediakan oleh PT SIS yang telah mempunyai konsesi di Merauke. Jika dinyatakan bahwa satu hektar hutan bisa menghasil-
5
kan kayu sebanyak 200 m³. Artinya, PT MIL memerlukan hutan seluas 12.500 hektar setiap tahunnya, atau setara dengan
12.500 kali ukuran lapangan sepakbola, untuk memenuhi target produksi tahunan.
PT SIS memproleh luasan konsesi sebesar 169.400 hektar yang tersebar di empat distrik: Animha, Kaptel, Kurik dan Muting.
Hal itu berdasar pada SK UPPHHK No. 18/Menhut/II/2009. Jika fokus produksi HTI yang dikembangkan oleh Medco Group
adalah chipwood dan wood pellet, maka PT SIS mengembangkan perkebunan kayu HTI dengan dua jenis kayu ekaliptus dan
akasia. Selain di Papua, PT SIS juga mengembangkan Hutan Tanaman Industri di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara
Barat. Dikatakan bahwa PT SIS telah mengalokasikan lebih dari Rp. 20 triliun untuk mengembangkan 300 ribu hektar untuk
produksi HTI di tiga propinsi tersebut. 6
Pada tahun 2011, sebagian besar saham PT SIS dikuasai oleh perusahaan Korea PT LG. Pengusaan saham di PT SIS oleh
perusahaan Korea merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kebijakan energi Korea. Pemerintah Korea Selatan telah
mengadopsi kebijakan energi hijau. Kebijakan tersebut mengatur agar menggantikan batu bara dengan wood pellet. Setiap
tahunnya pemerintah Korea menggunakan 8 juta ton batu bara. Karena batu bara adalah sumber energi yang sangat kotor (a
very dirty fuel) maka hendak digantikan dengan sumber energi terbarukan. Sebagai langkah awal, pemerintah Korea ber-
usaha mengganti konsumsi batu bara dengan wood pellet sebesar 5% setiap tahunnya, atau setara dengan 400.000 ton
wood pellet.
Mengacu pada RKT (Rencana Kerja Tahunan) tahun 2011, PT SIS menargetkan total produksi kayu—baik kayu bulat dan
kayu bulat kecil—lebih dari 3,4 juta m³ dari tahun 2010-2011. Selama dua tahun itu, hutan di Merauke seluas 17 ribu
hektar sudah habis dibabat. Artinya, hutan alam yang dikonsesikan kepada PT SIS seluas 169.400 hektar akan habis dibabat
hanya dalam hampir 10 tahun. Keanekaragaman di dalam hutan akan digantikan hanya oleh akasia dan ekaliptus. Pengua-
saan lahan yang demikian luas oleh PT SIS dibutuhkan guna memastikan siklus produksi tanaman HTI dan siklus kapital
terus berjalan, mengingat tanaman HTI yang telah ditanam bisa dipanen ketika sudah berumur enam atau delapan tahun.
Kondisi Sosial Malind-Anim
Kategori identitas tidaklah pernah tunggal. Hal itu berlaku pula atas kategori suku Malind. Di dalam suku Malind masih
terdapat kategori sub-sub etnis yang banyak. Tulisan Frumensius Samkakai (2009) memperlihatkan bahwa terdapat
kelompok teritorial yang merupakan gabungan dari beberapa kampung dan secara kolektif sebagai kesatuan sosial yang
komprehensif. Terdapat beberapa kelompok teritorial yang telah berhasil diidentifikasi, yakni: Markai, Morehead, Kanum,
Nggawil, Laghuk, Nggahul, Imaz, Maklew, Mbian, Kumb, Yei, dan Boadzi. Ikatan sosial, dan juga teritorial, tidaklah terlalu
kentara di masa sekarang. Hal ini merupakan akibat dari rerangkaian sejarah yang bisa dilacak sejak jaman kolonial Belanda
hingga masa pemerintahan Indonesia. Walaupun demikian, ikatan dan kedekatan relasi sosial tersebut masih tampil dalam
kehidupan sehari-hari yang sifatnya subtil di mata orang luar, tapi terbaca polanya oleh mata sesama orang Papua.
Tentunya dibutuhkan suatu penelitian yang lebih komprehensif untuk memahami teritorial orang Malind. Seperti yang dinya-
takan oleh Samkakai (2009) bahwa penguatan ulayat kampung-kampung sekarang ini merupakan kecenderungan yang idak
dikenal nenek-moyang Malind-Anim. Karena itu, sekalipun literature klasik (Seperti Baal, 1966; Verschueren, 1958; Van der
Kroef: 1952) mengenai Malind-Anim sedikit banyak telah berupaya mengupas hal itu, namun literatur tersebut tidak mampu