Page 88 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 88

78     Di Atas Krisis Sosial-Ekologis Semacam Apa
               Megaproyek MP3EI Bekerja?



                                   Masuknya para investor di Merauke melalui skema MIFEE cenderung mengabaikan hak pakai atau akses perempuan Malind-
                                   Anim atas tanah. Hal ini kentara ketika sosialisasi rencana investasi pihak investor hanya menemui atau mengundang para
                                   ketua marga pemilik tanah, yang hanya berjenis kelamin laki-laki. Sosialisasi rencana investasi cenderung diletakkan
                                   sebagai salah satu upaya investor untuk sekadar mendapatkan tanah dari pemiliknya. Perusahaan menggunakan logika
                                   bisnis di dalam transaksi tanah yaitu melakukan transaksi dengan pemilik tanah.


                                   Seperti yang telah dituliskan sebelumnya bicara tanah setara dengan bicara adat. Perkara rencana investasi ataupun tran-
                                   saksi tanah hanya didiskusikan dan dibahas oleh para ketua marga dan tetua adat yang statusnya mempunyai hak bicara
                                   pengalihan tanah. Artinya perempuan tidak mempunyai ruang di dalam pembahasan "kasih tanah" untuk investor. Jika ada
                                   ketua marga yang membicarakan perkara tersebut kepada anggota keluarganya, seperti istri dan anak laki-laki ataupun
                                   perempuan, lebih cenderung bersifat memberikan informasi. Biasanya, anak laki-laki sulung karena mempunyai hak waris
                                   memberikan pendapat kepada Bapaknya. Sedangkan, anak perempuan atau istri hanya mendengarkan tanpa banyak "buang
                                   suara".

                                   Praktik Perampasan Tanah di Zanegi

                                   Sejarah masuk PT. SIS atau yang dikenal masyarakat Zanegi sebagai PT. Medco (selanjutnya disebut perusahaan), bermula
                                   dari hadirnya salah satu tokoh adat di Kampung Zanegi pada tahun 2008. Tokoh adat dari kampung di DAS Kumbe itu juga
                                   mempunyai pengaruh dan kedekatan dengan tetua adat di Kampung Zanegi. Kedekatan tersebut merupakan bagian yang erat
                                   dari kelompok teritorial yang dinyatakan oleh Samkakai (2009). Tokoh adat lalu menginformasikan mengenai perusahaan
                                   yang bisa mendatangkan uang banyak. Kampung dimana ia hidup adalah salah satu kampung di Kabupaten Merauke yang
                                   juga telah dimasuki oleh investasi PT Medco. Melalui tokoh adat tersebut, PT. Medco dapat melakukan kontak dengan para
                                   pemilik dusun di kampung Zanegi untuk melakukan transaksi tanah.

                                   Sejak tahun 2008 hingga 2009 perusahaan telah melakukan sosialisasi dengan para ketua marga di Kampung Zanegi terkait
                                   niatan mereka untuk melakukan operasi penebangan kayu. Dalam rentang waktu tersebut, perusahaan telah melakukan
                                   sosialisasi di kampung sebanyak tiga kali. Sosialisasi pertama dilakukan di Merauke, ketika itu hanya Pejabat Sementara
                                   Kampung yang juga ketua marga Gebze yang dihubungi oleh perusahaan. Sedangkan pada sosialisasi kedua, perusahaan
                                   telah menghubungi semua kepala dusun (ketua marga). Di dalam sosialisasi itu, perusahaan menyatakan bahwa mereka
                                   membutuhkan tanah untuk menjalankan operasi usaha kayu seluas 3000 hektar. Luasan tanah yang dibutuhkan perusahaan
                                   tidak hanya akan diperoleh dari tanah kampung Zanegi, tetapi juga dari Buepe dan Kaliki. Walaupun demikian, perusahaan
                                   tidak menyatakan berapa luasan tanah yang pasti dibutuhkan dari masyarakat Zanegi untuk operasi perusahaan.

                                   Selama proses sosialisasi tersebut, para pemilik dusun tidak dengan segera melakukan pelepasan tanah. Salah satu alasan-
                                   nya adalah karena negosiasi mengenai besaran uang “ketok pintu” antara pemilik dusun dan perusahaan masih belum
                                   menemukan titik temu. Para pemilik dusun di Zanegi menganggap besaran uang yang diajukan oleh perusahaan terbilang
                                   kecil. Tak hanya itu, para pemilik dusun Zanegi merasa pernyataan-pernyataan perusahaan setiap sosialisasi tidak konsis-
                                   ten. Hal ini tampak antara lain seperti, pada mulanya para pemilik dusun meminta besaran uang ketok pintu sebesar 5
                                   milyar, namun perusahaan menawar sebesar 2 milyar. Selanjutnya perusahaan menyetujui besaran uang tersebut, namun
                                   tawaran dari perusahaan uang sebesar 2 milyar itu tidak semuanya dibayarkan secara tunai. Perusahaan beralasan uang 2
                                   milyar adalah uang yang besar dan jika diberikan semuanya dalam bentuk tunai dikuatirkan masyarakat tidak bisa menge-
                                   lolanya dan akan habis begitu saja. Karenanya perusahaan akan memberikan uang tunai sebesar 300 juta dan sisanya, 1,7
   83   84   85   86   87   88   89   90   91   92   93