Page 91 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 91
81
MIFEE: Perampasan Tanah dan Krisis di Tanah Malind
rakat bisa menerima kompensasi kayu dari perusahaan sebesar sebesar 1-2 milyar rupiah setiap tahunnya (Majalah Tempo
2012, 68 ). Dari penghitungan data besaran kompensasi yang diterima masyarakat Zanegi dalam waktu satu semester (dari
bulan Juli hingga Desember tahun 2010) tidak lebih dari 250 juta rupiah.
Krisis di Kampung Zanegi
Sebelum masuknya perusahaan dan melakukan penebangan hutan, berburu merupakan aktivitas yang mudah bagi masya-
rakat. Masyarakat tak perlu berjalan jauh dari kampung, tak perlu berjalan jauh masuk ke dalam hutan serta tak perlu
menunggu lama untuk memperoleh hasil buruan. Dalam sehari berburu masyarakat bisa memperoleh hingga lima hasil
buruan, yang berat totalnya bisa mencapai 250 kilogram. Sebagian dari hasil buruan itu dijual, dan sisanya sebagai kon-
sumsi rumah tangga. Dari penjualan itu masyarakat memperoleh uang untuk membeli kebutuhan lainnya yang tidak bisa
diambil dari alam.
Sejak penebangan, binatang buruan semakin sulit ditemukan. Masyarakat harus berburu di daerah Kali Bian, di mana hutan
masih berdiri tegak dan masih terdapat jejak binatang. Walaupun demikian, semakin sering masyarakat kembali dari berburu
dengan tangan hampa. Kerap kali setelah seminggu lamanya di hutan, masyarakat hanya memperoleh satu hasil buruan
hanya dengan berat maksimal 10 kilo. Seluruh hasil buruan itu tidak bisa dikonsumsi oleh keluarganya. Karena hasil buruan
itu menjadi alat tukar dengan uang. Hasil buruan itu langsung dijual kepada pengojek yang sudah mangkal di wilayah Bian.
Salah seorang ibu muda di Kampung Zanegi mengisahkan:
“Dulu, di belakang [tak jauh dari rumah] langsung dapat saham (kangguru). Tapi sekarang air mata darah bisa
keluar....Sekarang pergi cari kayu bakar, tidak bisa lihat bekas saham atau rusa. Tidak seperti dulu. Dulu, pergi ke
hutan [bisa] lihat kasuari, babi, saham.”
Tidak hanya binatang buruan yang berkurang drastis, dusun sagu masyarakat Zanegi pun terancam rata dengan tanah.
Masyarakat memahami bahwa pohon-pohon di sekitar dusun sagu harus dilindungi. Hal ini diperlukan untuk menjaga
ketersediaan air bagi pohon sagu. Menurut orang Zanegi, persoalan dusun sagu juga menjadi pembahasan ketika sosialisasi
rencana investasi PT SIS. Pihak masyarakat dan perusahaan telah mencapai kesepakatan bahwa dusun sagu tidak akan
digusur rata dengan tanah. Perusahaan menjanjikan bahwa batas penebangan dengan dusun sagu sejauh 500 meter.
Namun pada praktiknya, perusahaan membongkar dusun sagu milik salah satu marga warga Kampung Zanegi. Pohon-pohon
sagu di sekitar dusun miliknya telah gundul dan rata dengan tanah. Jarak 500 meter yang dijanjikan pun tak nampak. Sekitar
dusun tersebut hanya dikelilingi tanaman akasia yang masih belia. Jikapun dusun sagu tidak ditebang, tetapi tidak sedikit
pohon sagu milik beberapa marga di Zanegi rusak. Hal ini dikarenakan tertimpa kayu hasil penebangan. Akibatnya hasil
pangkur sagu menjadi berkurang. Biasanya memperoleh bola sagu sebanyak dua karung menjadi sejak perusahaan
beroperasi hanya satu karung bola sagu yang didapat.
Berkurangnya ketersediaan pangan di masyarakat Kampung Zanegi, berpengaruh signifikan terhadap pasokan gizi bagi per-
empuan Malind. Perempuan Malind lebih memprioritaskan ketersediaan pangan bagi anak dan suaminya. Hal ini terlihat
ketika waktu makan, perempuan Malind di Kampung Zanegi akan mendahulukan anak-anak dan kepala keluarga untuk
makan, yang setelahnya baru mereka makan. Tubuh perempuan, khususnya para mama, karena hanya makan satu kali satu
hari menjadi kurus. Untuk menahan lapar para perempuan semakin banyak mengkonsumsi pinang dan tembakau.