Page 93 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 93
83
MIFEE: Perampasan Tanah dan Krisis di Tanah Malind
mikian, hal ini menyediakan lapangan kerja bagi pemuda kampung Zanegi yang lain. Para pemuda yang sudah tidak bekerja
di perusahaan, kemudian bekerja di bawah para kontraktor.
Masuknya para pemuda ke dalam kerja HTI perusahaan mengubah pembagian kerja di antara laki-laki dan perempuan
Malind di Kampung Zanegi. Kerja pangkur sagu yang biasa dilakukan bersama-sama baik perempuan maupun laki-laki,
sekarang hanya dilakukan oleh perempuan. Dengan demikian, beban kerja perempuan pun semakin semakin bertambah,
terutama dengan kerja domestik yang secara khusus dibebankan padanya.
Perempuan Malind Kampung Zanegi tidak diserap di dalam ketenagakerjaan HTI PT SIS. Hal ini merupakan kebijakan
perusahaan. Karena sebelumnya seorang buruh perempuan migrasi bekerja sebagai tukang masak di Kamp 19 PT SIS
dihamili oleh salah satu pekerja perusahaan. Sejak saat itu, perusahaan tidak menggunakan tenaga kerja perempuan di
setiap lini. Namun kebijakan ini tidak berlaku untuk kerja usaha HTI di bawah kontraktor.
Salah satu kerja usaha HTI yang dimungkinkan buruh perempuan bisa dilibatkan dalamnya adalah pada kerja perawatan
tanaman HTI. Saat ini, di dalam petak-petak HTI di Kampung Zanegi akan kita temui banyak buruh informal perkebunan
dibawah kontraktor. Tak sedikit wajah-wajah dari buruh informal itu adalah perempuan. Bisa dikatakan hampir semua buruh
perempuan informal adalah pendatang, baik berasal dari kampung, kabupaten, maupun pulau yang berbeda. Sejauh ini tak
satupun perempuan Zanegi yang bekerja sebagai buruh informal. Alasan mereka tidak menjadi buruh informal karena
mereka takut dengan babi hutan.
Pilihan menjadi buruh informal bukanlah suatu pilihan yang bisa menyediakan peluang membantu ekonomi masyarakat
Zanegi. Dari hasil wawancara dengan kontraktor dan buruh perempuan informal yang menggarap usaha HTI memperlihatkan
bahwa upah yang diterima tidaklah sesuai dengan bobot kerja dan waktu yang dibebankan kepada buruh. Dalam waktu satu
bulan, para buruh—maksimal delapan buruh informal—harus merawat tanaman HTI di lahan minimal seluas 16,03 hektar.
Demi memenuhi target, para buruh membangun suatu gubuk (buevak) di area HTI yang dikerjakan serta mempersiapkan
peralatannya sendiri (berupa parang dan cangkul), karena pihak perusahaan tidak menyediakannya.
Berapa besar upah yang diberikan perusahaan kepada buruh informal yang telah 'dipaksa' menjual waktu dan tenaganya?
Perusahaan memberikan bayaran untuk lahan seluas satu hektar yang dikerjakan sebesar Rp. 328.581. Jadi, total
pembayaran untuk kerja di lahan seluas 16,03 hektar sebesar Rp. 5.267.153. Dari uang itu, si kontraktor memperoleh
duapuluh persen, atau kurang lebih sebesar satu juta rupiah. Uang kurang lebih sebesar empat juta yang diterima oleh
delapan buruh informal tersebut.
Melalui kerja itulah, para buruh informal bisa memenuhi kebutuhan pangan sehari-harinya. Untuk memenuhi kebutuhannya
sehari-hari, mereka berhutang kepada perusahaan dalam bentuk bahan makanan, seperti beras, mie instan, ikan kalengan,
tembakau, gula, kopi, dll. Ketika target sudah dipenuhi, upah yang diterima akan dipotong oleh perusahaan untuk membayar
hutang bahan makanan tersebut.
Dengan masuknya perusahaan di hak ulayat masyarakat Zanegi, uang semakin deras masuk ke dalam kampung. Mulai dari
uang transaksi tanah hingga kompensasi kubikasi kayu. Masuknya uang ke dalam kampung, yang relatif besar jumlahnya,
turut mengubah relasi sosial perlahan-lahan secara signifikan menjadi relasi yang ditenggarai oleh uang, serta mendorong
pola konsumsi dengan uang semakin tinggi. Masuknya uang ke kampung melalui perusahaan berpengaruh besar pada tubuh