Page 72 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 72
Membaca Ulang Keberadaan Hak Guna Usaha (HGU) dan Kesejahteraan Rakyat
Seperti yang diungkapkan Wiradi (2009), salah satu isi
perjanjian KMB yang terkait dengan masalah perkebunan besar
adalah butir yang menyatakan bahwa perkebunan-perkebunan
besar yang diduduki rakyat harus dikembalikan kepada pemegang
haknya semula, yaitu kaum modal swasta Belanda. Ini artinya
rakyat yang sudah terlanjur menduduki perkebunan itu, yang turut
didorong oleh pemerintah pendudukan Jepang, harus diusir dari
tanah-tanah tersebut. Hal pokok yang perlu dicatat dari momen
politik KMB ini adalah pasca pembatalan KMB secara sepihak
oleh Indonesia pada 1957, selanjutnya diikuti oleh nasionalisasi
perkebunan atas perkebunan-perkebunan asing. Dari hampir
sebagian besar perusahaan asing yang diambil alih melalui kebijakan
“nasionalisasi” pada saat itu, pimpinannya kemudian langsung
dipegang oleh militer. Inilah awal mula dari masuknya peran TNI
kedalam bidang ekonomi. Hingga lahirnya UUPA 1960, program
land reform hanya menyasar pada pertanian rakyat sementara pada
sistem perkebunan besar tidak tersentuh oleh program tersebut,
dan sebaliknya mampu terus bertahan dan terus memperkokoh
dirinya yang ditandai dengan lahirnya UU Nomor 18 Tahun 2004
tentang Perkebunan.
Seperti yang telah digambarkan sebelumnya, proyek perkebunan
di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pasang surut dinamika
ekonomi-politik yang melekat pada sebuah rejim penguasa dan
kekuatan modal global. Lengsernya Orde Lama digantikan oleh
Orde Baru mengawali suatu akibat proyek liberalisasi penguasaan
dan pengelolaan sumber-sumber agraria yang berdampak pada
proses pembekuan secara sistematis UUPA 1960, sehingga secara
langsung berdampak pada terhentinya pelaksanaan land reform
di Indonesia.. Kondisi ini diikuti oleh lahirnya perundang-
undangan sektoral terkait sumberdaya, seperti UU Kehutanan,
— 53 —