Page 69 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 69

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis

                Khusus di Indonesia, sistem perkebunan telah hadir sejak era
            era pendudukan kolonial Belanda (pra kemerdekaan 1945),. Di
            masa tersebut, keberadaan perkebunan kolonial tidak lepas dari
            pasang-surut dinamika ekonomi-politik di negeri Belanda. Paling
            tidak, di Indonesia sebagai negara jajahan dikenal dua sistem
            hubungan yang menonjol yaitu sistem “perkebunan” negara dalam
            tanam paksa di era 1830-1870 dan sistem perkebunan swasta
            “liberal” yakni pada 1870 atau disaat berlakunya Undang-Undang
            Agraria 1870 (Mubyarto, 1983; Wiradi, 2009). Pada sistem yang
            pertama pemerintah lebih banyak menggunakan “otoritanya”
            (high authority) untuk “membeli” komoditi yang diperlukan, tidak
            jarang dengan cara-cara paksa. Selanjutnya pada cara yang kedua
            (pasca 1870), terjadi hubungan ketergantungan yang erat antara
            pusat-pusat perkebunan dengan pusat-pusat metropolitan dengan
            pasar modalnya (Mubyarto, 1983). Besarnya aliran investasi yang
            bebas dan luas, Gordon (1982) mencatat, negara kolonial Belanda
            berhasil menempatkan diri sebagai investor terbesar ketiga di dunia
            yang sebagian besar investasinya ditanam di Indonesia (Mubyarto,
            1983). Liberalisasi pekerbunan ini tidak dapat dilepaskan dari
            tuntutan para pemilik modal perkebunan. Seperti yang dikatakan
            Pelzer, Pemerintah Belanda karena ketergantungan mereka terhadap
            perkebunan sebagai sumber devisa terpaksa “menyerah” terhadap
            tuntutan pihak pemilik modal perkebunan (Soetrisno, 1983).
                Sebagai sebuah warisan kolonial, Wiradi (2009) menyebutkan,
            secara historis dapat dilihat bahwa sistem produksi perkebunan
            besar pada umumnya memiliki empat atribut, yaitu: pertama,
            berorientasi ekspor dalam skala besar; kedua, kebutuhan tenaga
            kerja yang sangat besar dibanding dengan yang dapat tersedia
            oleh pasar (tenaga kerja) domestik yang bebas; karena itu, ketiga,
            diperlukan mekanisme ekstra-pasar (pemaksaan oleh apratur

                                    — 50 —
   64   65   66   67   68   69   70   71   72   73   74