Page 117 - Reforma Agraria (Penyelesaian Mandat Konstitusi)
P. 117
Reforma Agraria: Menyelesaikan Mandat Konstitusi
Pada wilayah verifikasi lahan, persoalan terjadi karena tidak mudah
untuk melakukan verifikasi bersama dalam kawasan hutan. Faktanya,
jarang bisa terjadi secara cepat proses verifikasi itu dilakukan, karena tidak
ada lembaga yang berinisiatif untuk mempercepat verifikasi di lapangan
dan menyelesaikan verifikasinya. Seharusnya, jika memang harus dive-
rifikasi secara bersama, maka semestinya ada kepanitiaan di tiap wilayah
(provinsi) yang bertugas untuk melakukan verifikasi lahan-lahan yang
dilepaskan dari kawasan hutan. Hal ini penting untuk menentukan objek
dan subjek calon penerima TORA.
Problem utama dalam program redis tanah pelepasan kawasan hutan
selain objek yang belum clear adalah komunikasi dan kordinasi antar-
sektor. Belum ada mekanisme koordinasi yang dibangun untuk mela-
kukan penyelesaian tanah yang dilepaskan dari kawasan hutan, sementara
Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang diketuai langsung oleh
gubernur di tingkat provinsi dan bupati di kabupaten (belum terbentuk)
belum bekerja secara efektif untuk mengelola persoalan TORA dan redis-
tribusinya di masing-masing wilayah. Oleh karena itu, jika tidak dirubah
pola dan sistem serta mekanisme kerjanya, target redis dari tanah kawasan
hutan sulit untuk diselesaikan. Kemungkinan terbesar yang bisa dilaku-
kan untuk meredistribusi lahan adalah hasil inventarisasi dan verifikasi
lahan masyarakat dalam kawasan hutan yang diselesaikan dengan
mekanisme PPTKH (Perpres 88/2017). Selain itu yang mungkin juga
dikerjakan adalah alokasi 20% dari izin HGU yang status tanahnya sudah
dilepaskan. Untuk alokasi lahan 20% pada perolehan izin baru tidak
mengalami persoalan, namun yang menjadi catatan KLHK adalah
perolehan izin-izin sebelumnya yang keberadaan tanahnya belum
terdeteksi.
Di lapangan, objek tersebut (20%) mengalami banyak persoalan,
karena mayoritas perusahaan tidak memberikan lahan 20% tersebut
secara tegas kepada negara berikut peta untuk menunjukkan posisi
lahannya, sehingga butuh usaha untuk menagih objek tersebut. Semen-
tara KLHK sendiri sudah merasa melepaskan dan bukan lagi wilayah
hutan, sehingga tidak menjadi urusannya, sementara ATR/BPN juga
mengalami kebingungan karena tidak merasa menerima lahan dimaksud
89