Page 113 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 113
Politik Kelembagaan Agraria Indonesia
Tidak lama setelah UU dan PP tanah partikelir keluar,
April 1958 Kementerian Agraria mengeluarkan Peraturan
Menteri Agraria No. 1 Tahun 1958 tentang Panitia-Panitia
Kerja Likuidasi Tanah-Tanah Partikelir. Tentu tidak semua
wilayah dibentuk Panitia Kerja, hanya ada beberapa daerah,
di antaranya adalah wilayah/daerah-daerah Kotapraja
Jakarta Raya, Semarang, Surabaya, Makassar, Keresidenan-
keresidenan Jakarta, Bogor, Pekalongan, Semarang, Sura-
baya, Malang, dan daerah lain yang akan ditentukan kemu-
dian. Persoalan tanah partikelir merupakan test case bagi
Kementerian Agraria karena kewenangan pembentukan
kepanitiaan dan menegaskan tanah-tanah partikelir dila-
kukan oleh Menteri Agraria dengan surat-keputusan yang
menjelaskan nama, letak, luasnya dan sedapat mungkin
keterangan-keterangan kadaster lainnya serta nama dan
alamat pemiliknya (Pasal 2 PP No. 18/1958).
Sudah barang tentu bukan persoalan mudah mengu-
rus tanah partikelir, karena tugas Kementerian Agraria
baik di pusat maupun di daerah harus mengerjakan
sesuatu yang berdampak hukum, “memutus hubungan
hukum” antara subjek dan objek yang harus dilakukan
secara teliti, sementara secara kelembagaan, sumber daya
yang dimiliki jauh dari memadai. Sebagaimana diminta
dalam Pasal 3 PP No. 18/1958, para pemilik tanah partikelir
wajib menyerahkan semua buku-buku, peta-peta, dan
surat-surat mengenai administrasi tanah kepada Menteri
Agraria atau instansi yang ditunjuknya, juga memberikan
daftar dari hak-hak dan milik pihak ketiga dan hak milik-
nya sendiri yang ada di atas tanah tersebut. Pengelolaan
77