Page 117 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 117
Politik Kelembagaan Agraria Indonesia
Tanah partikelir merupakan tanah eigendom yang
memiliki keistimewaan. Pada mulanya, luasan tanah parti-
kelir sekitar 1.147.000 hektar, kemudian sebagian dibeli
kembali oleh Pemerintah Belanda sejumlah 658.005 hektar
dan yang belum dibeli sampai tahun 1948 sejumlah
488.945 hektar (Tauchid, 2009). Tanah partikelir ter-
banyak ada di Jawa Barat, luasannya sekitar 479.478 hek-
tar, berikutnya Jawa Timur dan Jawa Tengah. Menurut
Reglement 1836 disebutkan, tanah partikelir diberikan
kepada seseorang dengan tujuan untuk pertanian dan
peternakan dengan semua kewajiban-kewajibannya. Jawa
Barat menjadi wilayah dengan tanah partikelir terluas
karena wilayah ini yang pada periode kolonial mengem-
bangkan lahan pertanian cukup luas (Tauchid, 2009).
Lahirnya kebijakan tanah partikelir diawali oleh ga-
gasan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem
Daendels (1808-1811). Kebijakan tersebut diawali dengan
menjual sebagian tanah Hindia Belanda kepada pedagang
dari China, Arab, dan bangsa Eropa (Belanda). Dengan men-
jual tanah partikelir menyebabkan para pembeli dijuluki
tuan tanah sekaligus isi di atas tanah (wilayah, tenaga kerja/
petani, serta pajak). Kewenangan yang diberikan pada tuan
tanah ini sangat besar, termasuk menentukan dan mene-
tapkan aturan yang diinginkan oleh tuannya seperti
mengambil hasil panen, menarik sewa, dan menjadikan
petani untuk kerja rodi. Kondisi itu menjadi pembeda tuan
tanah dari hasil pembelian tanah partikelir dengan tuan
tanah pada umumnya, karena kewenangan yang dimiliki
atas tanah dan penduduk yang tinggal di atas tanah tersebut.
81