Page 119 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 119
Politik Kelembagaan Agraria Indonesia
masih ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
Sulawesi dihapuskan di dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya. Selain tanah partikelir, tanah eigendom yang
luasnya lebih dari 10 bau juga diperlakukan sebagai tanah
partikelir, hingga dapat dihapuskan sesuai ketentuan
undang-undang. Sisi lain, tanah eigendom yang luasnya
lebih dari 10 bau bertentangan dengan Pasal 51 ayat 2
Indische Staatsregeling (dulu Pasal 62 Regering Reglement)
jo pasal 8 Agrarisch Besluit, sebagaimana ditentukan,
bahwa pemberian eigendom tidak boleh melebihi 10 bau
dan itu pun terbatas pada perluasan kota dan desa atau
untuk keperluan tempat bangunan-bangunan kerajinan
(Majalah Agraria, No. 2 Mei 1958).
Dengan dasar pertimbangan tersebut kemudian UU
ini dikeluarkan, karena semangatnya untuk keadilan dan
tidak bisa diterima di dalam alam Indonesia merdeka.
Pada periode kolonial hal tersebut dianggap lumrah,
namun saat Indonesia merdeka, akan sangat sulit mene-
rima hal tersebut. Sistem tanah partikelir pada praktiknya
juga banyak menimbulkan persoalan, bahkan memun-
culkan perlawanan dari masyarakat setempat. Setidaknya,
sejarah mencatat beberapa perlawanan warga terhadap
praktik dan kebijakan tanah partikelir, misalnya mun-
culnya gerakan sosial di Pamanukan dan Ciasem sebagai
bentuk pergolakan dan perlawanan petani tahun 1913
(Imadudin et al., 2012). Perlawanan yang sama juga
pernah terjadi di Tanah Partikelir Tanjoeng, Batavia pada
tahun 1916. Perlawanan terjadi sebagai akibat dari tuan
tanah yang melakukan eksploitasi tanah dan petani yang
83