Page 123 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 123

Politik Kelembagaan Agraria Indonesia

                          kebijakan lainnya pasca Peristiwa 30 September 1965. Studi
                          ini  melirik perjalanan  rekonstruksi kelembagaan  yang
                          dimulai dari  awal nasionalisasi  kemudian lanjut pada
                          proyek landreform, transmigrasi, dan berubahnya kelem-
                          bagaan agraria dari Dirjen Agraria menjadi Badan Perta-
                          nahan Nasional (1988). Sebagai  catatan, situasi  politik
                          sebelum dan sesudah 1965 telah mengantarkan perubahan
                          kelembagaan agraria dari posisi strategis menjadi lembaga
                          yang tetap strategis namun dengan “baju minimalis” pasca
                          1965. Dalam bahasa lain, Kementerian Agraria mengalami
                          “kekalahan” sebelum menuntaskan agenda politik agraria,
                          yakni menata struktur penguasaan tanah—agraria—In-
                          donesia pasca lahirnya UUPA 1960.


                          A. UUPA dan [Janji] Pembangunan Hukum Adat di
                             Indonesia

                              Ketika pertama kali UUPA diundangkan pada 24 Sep-
                          tember 1960, Kementerian Agraria sebagai sebuah lem-
                          baga langsung mendesain berbagai aturan untuk men-
                          jalankan UU tersebut. Ada tiga isu besar di dalam UUPA
                          yang kemudian segera dikerjakan pasca diundangkannya
                          untuk menata persoalan agraria Indonesia: pertama land-
                          reform sebagaimana diatur dalam Pasal 7, 9, 10, 15 dan
                          pasal lain yang menjadi pijakan pelaksanaan landreform;
                          kedua  hak atas tanah yang  diwujudkan dalam  bentuk
                          pendaftaran hak atas tanah sebagaimana diminta dalam
                          Pasal 19, baik menyelesaikan pendaftaran hak atas tanah
                          bekas hak Barat maupun tanah masyarakat Indonesia; dan
                          ketiga hukum adat dalam konteks pemberlakuan hukum

                                                                              87
   118   119   120   121   122   123   124   125   126   127   128